"Lari Vin!" teriak Lidya
sekencang mungkin.
Vinny yang saat itu berada
dibelakang Lidya dan Yona, mempercepat
larinya.
Keadaan mall yang sudah gelap makin
mempersulit langkah ketiga gadis muda itu.
"Kak Yon! Tunggu Vinny, dia
masih diatas!" kali ini Lidya berteriak pada Yona yang sudah berada di
lantai tiga. Lidya menahan larinya ketika menuruni eskalator yang sudah
dimatikan powernya saat itu, hingga tak ubahnya seperti tangga biasa.
Vinny yang masih terengah-engah lalu
menyusul dibelakang Lidya.
"Si-siapa o-orang itu?"
tanya Vinny pada dua temannya itu dengan nafas yang masih berat. Ketiganya kini
tengah berlari menelusuri lorong mall lantai tiga menuju eskalator yang
menghubungkan ke lantai dua.
"Gak tahu, Vin. Yang penting
sekarang kita selamatkan diri dulu!" jawab Yona tidak kalah panik.
Sementara itu, sosok pria kurus,
dengan tangan kanan menggenggam sebilah badik yang ia temukan di toko perkakas
saat mengejar tiga gadis itu, terus mengejar dan tidak terlihat melambatkan
kecepatan larinya.
Kedua matanya terlihat menonjol,
karena tulang pipinya yang kurus, terus menatap punggung rapuh ketiga buruannya
itu. Nafas pria itu tidak karuan, seiring dengan genggamannya pada badik yang
semakin erat.
Nyawa ketiga gadis itu dalam bahaya.
Bahaya yang sangat besar.
***
Dua jam sebelumnya..
"Eh, kamu tahu charger handphone
ku ada dimana ya?" tanya Vinny.
"Sudah aku kembalikan kan? Tadi
kamu pake di meja rias, masa lupa?" ketus Lidya.
"Ketinggalan deh kayaknya.. Gimana
dong? Temenin ambilin ke atas yuk.."
"Enggak! Besok aja
sekalian..."
"Tapi besok aku ga ada jadwal
theater, Lid.. Besok aku harus ikut study tour sekolah.. Kalo ga diambil
sekarang, mau ngecharge hape pake apa coba?"
"Nyonya Vinny, tapi mall sudah dimatikan
semua tuh lampu-lampunya. Sudah gelap tuh didalem."
"Nggak papa, Lid. Cuma sebentar
deh janji."
"Ada apa sih?" Yona yang
sedari tadi sibuk menerima telpon dari orang tua nya, kini ikut penasaran
dengan perbincangan Vinny dan Lidya saat itu.
"Chargerku ketinggalan di
theater, kak Yon.. Gimana dong ini.."
Sesaat Yona terlihat diam dan menatap
kedalam mall yang sudah gelap.
"Tapi, ntar kalau taksinya
datang? Kan barusan sudah pesan taksi."
"Iya, sebentar doang kok kak
Yon. Ayolah.."
"Cepetan lho ya.."
"Sip, iya kak Yon."
Yona akhirnya, meski dengan sedikit
ketakutan, mau mengantar Vinny masuk lagi kedalam mall.
"Kamu gimana Lid? Nunggu taksi
diluar sini yah?"
"AWAS AJA KALAU KAK YONA BERANI
NINGGALIN AKU DISINI SENDIRIAN...."
"Hahaha, yaudah ayo ikut
kedalam!"
"Dasar Lid.... Tadi katanya
nggak mau anterin."
"Yeee, lebih nggak mau lagi
kalau ditinggal sendirian malem-malem gini keleus.."
Yona, Vinny, dan Lidya akhirnya
memberanikan diri masuk kedalam mall yang sudah hampir gelap total itu. Suasana
mall ketika jam operasionalnya dibanding dengan saat ini, sangat berbeda jauh.
Mall yang biasanya hiruk pikuk dengan berbagai macam suara, mulai dari
percakapan antar pengunjung mall hingga background musik dari bermacam toko
yang seakan berlomba siapa yang paling berisik, di malam hari begini, mendadak
sunyi senyap.
Hanya derap langkah dari ketiga gadis
itu yang menggema hampir ke seluruh penjuru mall.
"Serem banget sih.." bisik
Vinny pelan.
"Ah elah, tadi siapa yang getol
minta balik lagi kedalam mall?" timpal Lidya.
"Udah ah, ayo cepetan jalannya.
Cepet sampe theater, cepet keluar lagi dari sini." ujar Yona menengahi.
Tak pelak, kini suara gema langkah
kaki ketiga gadis itu terdengar semakin cepat ritme nya, karena mereka bertiga
kini setengah berlari.
"Ngomong-ngomong, sofa baru yang
ada di backstage itu enak banget yah. Siapa yang beli sofa itu? Kak
manajer?" tanya Vinny memecah kesunyian diantara mereka bertiga.
"Nggak tahu ya. Katanya sih itu
gift dari fans." Lidya setengah yakin menjawab.
"Wih.. Ada yang ngegift sofa?!
Gile.. Terus, gift buat siapa tuh sofa?" sambung Yona penasaran.
"Nah itu uniknya, gift itu bukan
ditujukan ke member tertentu. Di kartunya, itu gift untuk "jkt48"
gitu doang. Makanya, sama kak manajer, sofa itu ditaruh di backstage, lumayan
lah ya, daripada yang lama, cuma kursi kayu panjang yang jadi tempat duduk di
backstage." jawab Lidya lagi.
"Iya tuh, enak banget sofanya,
besar banget juga. Dipake tidur dua orang juga muat, haha. Ya kan, waktu itu si
Acha sama Nadila tidur sebelahan di sofa." ujar Vinny menahan ketawa.
"Yee, itu kan soalnya mereka
berdua pada kurus-kurus, jadinya pada muat tidur berdua." jawab Lidya
asal.
Tawa renyah kemudian menggema pelan
di lantai empat, tempat mereka berada sekarang.
"Udah hayuk, cepet masuk
theater, cepet diambil, terus cepet keluar." perintah Yona sambil
mengeluarkan kunci duplikat untuk teralis dan pintu theater. Memang seluruh
member jkt48 masing-masing diberi satu duplikat kunci theater.
Vinny kemudian sesegera mungkin membuka
pintu theater yang sudah dibuka kuncinya oleh Yona. Disusul kemudian Lidya yang
masuk dibelakang Vinny, lalu Yona yang terakhir.
Theater terasa seperti menelan
keberadaan mereka bertiga. Selambu tebal yang biasa menutupi jendela juga sudah
tertutup rapat, tidak meninggalkan celah sedikitpun untuk cahaya dari luar bisa
masuk kedalam.
Vinny kemudian menyalakan
satu-satunya lampu yang bisa dihidupkan saat tengah malam, lampu lorong tengah
menuju ke panggung. Hanya lampu itu yang terhubung ke genset mall, karena
sesuai policy dari mall tersebut, pasokan listrik utama dari mall akan
dimatikan diatas jam sebelas malam. Pasokan listrik cadangan hanya disediakan
media genset.
Cahaya cukup terang kemudian
menyelimuti lorong theater. Membuat ketiga gadis itu sedikit lega.
Meski cahaya lampu itu cukup terang
untuk lorong, tapi nyatanya tidak cukup banyak menerangi ruang backstage.
Begitu melangkah ke dalam backstage,
suasana kembali temaram..
Membuat nyali ketiga gadis itu
kembali menyusut.
"Gelap yah.."
"Iyalah, sudah malem
juga.." Lidya mulai gemas dengan komentar-komentar pengusir panik yang
diucapkan oleh Vinny.
"Itu kan? Ayo cepet diambil
Vin." sekali lagi Yona memerintah Vinny untuk bergegas mengambil charger
hape miliknya yang saat ini sedang ditunjuk oleh Yona dengan bantuan senter
kecil dari hapenya.
Secepat kilat Vinny melangkah ke arah
meja rias, mengambil charger dari soket listrik disamping meja rias itu, lalu
kembali ke tempat Lidya dan Yona berdiri menunggunya.
"Hufh... Ayo, kita keluar dari
sini."
"Bentar kak Yon. Tolong dong
arahin senter tadi, aku mau gulung kabel charger ini dulu," pinta Vinny ke
Yona.
"Oke. Oke.."
Dengan sabar Yona mengarahkan kembali
senter hapenya kearah tangan Vinny yang sibuk menggulung kabel charger.
Cahaya senter yang diarahkan tinggi
ke tangan Vinny ternyata juga menyapu hampir separuh dari ruang backstage.
Menerangi sebagian dari meja rias. Menerangi sedikit dari deretan gantungan
baju-baju show jkt48. Dan sisa cahaya senter tadi juga mengenai sofa besar di
seberang meja rias.
Sisa cahaya yang tepat mengenai
sedikit bagian sandaran tangan sebelah kiri dari sofa besar itu.
Sisa cahaya yang seketika itu juga
mengenai sesuatu yang muncul dari pinggir sandaran tangan sofa itu.. Sesuatu
yang mampu membuat Lidya yang tengah memandang sofa itu, terbujur kaku
ditempatnya berdiri sekarang..
Sesuatu, berbentuk bundar, tengah
beradu mata dengan Lidya. Kepala manusia, kurus, dengan mata seperti menonjol,
terlihat janggal menyembul dari samping sandaran tangan pada sofa.
Lidya kehilangan suaranya..
***
Ketiga gadis itu masih berlari
melintasi deretan toko di lantai tiga yang sudah gelap, ketika kemudian Vinny
memerintahkan Lidya dan Yona untuk berhenti berlari.
"Kenapa Vin?" tanya Lidya
terengah-engah.
"Orang itu... Dia nggak ada
dibelakang kita!"
Lidya dan Yona otomatis memicingkan
mata, menatap menembus gelap jauh ke belakang mereka, mencoba untuk menangkap
sosok kurus kering yang mengejar mereka.
Dan benar, sosok itu sudah tidak
terlihat.
"Kemana?"
"Apa dia hantu?" suara
Lidya terdengar bergetar saking takutnya.
"Telpon polisi.. Polisi!"
Yona sepertinya menjadi satu-satunya diantara mereka bertiga yang masih bisa
berpikir jernih pada situasi tersebut.
Hingga pada akhirnya, polisi datang
bersama manajer ketiga gadis itu, menutup horor yang dialami ketiga gadis malam
itu.
Polisi menyusur tiap sudut mall yang
kini sudah dihidupkan kembali aliran listriknya oleh pengelola mall yang juga
datang bersama polisi.
Satu jam kemudian, situasi dapat
dikendalikan dengan ditangkapnya sosok kurus kering yang tadi meneror Lidya,
Yona, dan Vinny. Ketiganya bernafas lega.
Horor malam itu berakhir.
***
Pelaku penyerangan itu
teridentifikasi bernama Dul Gani. Seorang pengrajin mebel. Cukup disegani di
daerahnya.
Sosoknya memang kurus, seperti tidak
terawat. Dengan muka lonjong, dan tulang pipi yang menonjol sehingga kedua bola
matanya tampak seperti selalu melotot.
Dia sebenarnya seorang pengrajin
mebel, pembuat kursi, yang cukup disegani. Banyak pesanan kursi yang datang padanya.
Menurut pengakuannya kepada polisi,
segala ide dari perbuatan gilanya itu datang dari sebuah buku. Karya Edogawa
Rampo. Dia merasa memiliki banyak kesamaan dengan tokoh pada salah satu cerita
karya Rampo yang berjudul 'Kursi Bernyawa'.
Dia mengaku juga memiliki hasrat dan
perasaan yang sama dengan cerita itu, terhadap kursi-kursi dan sofa-sofa
buatannya. Dia jatuh cinta pada tiap karyanya.
Hingga pada suatu ketika, setelah dia
menyelesaikan membaca cerita itu, timbul ide gilanya untuk meniru. Dengan
kemampuan dan kredibilitasnya sebagai pengrajin handal, tentu itu bukan suatu
yang susah. Jika didalam cerita, ide 'Kursi Bernyawa' itu hanya sebuah fiksi,
dia ingin merasakannya di dunia nyata.
Lalu mulailah Dul Gani bekerja siang
malam dan bahkan sampai melewatkan makan dan tidur untuk mengerjakan 'belahan
hati' nya. Bayangan-bayangan sebuah mahakarya terus berputar di angan-angannya.
Sofa ini harus sempurna.
Tiga bulan total waktu yang dia
habiskan untuk melahirkan mahakaryanya, hampir tanpa makan dan tidur. Mahakarya
itu berbentuk sofa, besar, lebar, lembut namun tak terlalu lembut, berlapis
kulit kualitas kelas satu, kokoh, dan sempurna.
Hanya satu yang tidak orang kira,
sofa itu juga merupakan 'peti mati' yang Dul Gani buat untuk dirinya sendiri.
Dia membuat rongga yang cukup untuk dirinya masuk ke dalam sofa. Kepala dan
badan masuk ke tempat sandaran kursi, dan bagian kakinya bertempat di bantalan
duduk sofa itu. Mengubur secara sempurna tubuh Dul Gani. Tidak lupa juga dia
membuat lubang kecil untuknya mendengar suasana diluar persembunyiannya. Dan
sedikit lubang yang tidak terlihat dari luar untuk tempatnya mendapat udara
sekaligus celah mengintip.
Kulit kualitas satu, dan busa serta
pegas yang juga kelas satu, membuat penyamaran yang begitu sempurna bagi tubuh
kurus Dul Gani untuk bersembunyi di dalamnya.
Orang diluar, tak akan tahu bahwa
dibalik kulit sofa dan busa itu, ada daging manusia. Hidup, dengan urat dan
nadi yang masih mengalir darah, dengan jantung yang masih berdegup, dengan
telinga yang mendengarkan apa saja yang terjadi diluar, dengan hembusan nafas
yang diatur sedemikian rupa agar tidak terdengar. Kursi sofa itu menyembunyikan
seorang psikopat sakit didalamnya.
Bertahun-tahun karir sebagai
pengrajin kursi sudah dilalui Dul Gani, tapi jelas, sofa yang ini adalah yang
paling spesial. Bahkan dia masih bisa membuat rongga di dalam kursi itu untuk
keperluan hidupnya seperti rongga untuk menaruh beberapa biskuit dan air minum,
serta rongga untuk meletakkan tas karet sebagai wadah kebutuhan alami nya.
Sofa itu sudah berada di dalam
backstage jkt48 selama hampir sebulan, dan hampir sebulan itu pula Dul Gani
menjalani hidup sebagai setan. Bersembunyi dalam kegelapan, keluar
persembunyian saat suasana sepi malam hari, untuk mengambil dan mencuri
beberapa keperluan makan dan air. Atau sekedar ke kamar kecil di tengah malam.
Sampai pada malam itu, ketika matanya tidak sengaja bertemu dengan mata Lidya.
Semua kedok nya terbongkar.
Mahakaryanya terancam.
Belahan jiwanya terancam.
Lalu polisi sampai pada pertanyaan,
kenapa jkt48..
Dul Gani awalnya tidak menjawab.
Beberapa paksaan dari polisi tidak juga mampu membuatnya berbicara. Pukulan,
atau beberapa model siksaan ringan, dilakukan penyidik untuk memaksanya
berbicara tentang motifnya kenapa dia melaksanakan aksinya dengan menarget
jkt48.
Beberapa jam dilalui sia-sia hanya
untuk menunggu Dul Gani berbicara.
Hingga pada suatu menit, dia berbicara.
Dengan suara yang tidak terlalu keras, mungkin menahan sakit karena dua giginya
lepas akibat pukulan dari penyidik.
Kata-kata yang keluar dari mulutnya
tidak banyak, tapi mampu membuat manajer jkt48 yang saat itu juga berada di
ruang penyidik, berkeringat dingin dan shock. Berkali-kali sang manajer menatap
ke arah tembok dengan tatapan kosong, sambil dia berbicara di telepon dengan
Haruka yang saat ini sudah berada di bandara, barusan landing dari Jepang.
Haruka memang sebulan terakhir ini berada di Jepang untuk urusan pekerjaan dia
dengan akb48, sekaligus mengurus visa miliknya.
Interograsi Dul Gani telah selesai
malam itu. Polisi dan penyidik sudah mendapatkan cukup bukti dan testimoni
motif dari Dul Gani untuk menjebloskannya kedalam penjara untuk waktu yang
sangat lama.
Sang manajer, saat ini tengah
menyetir mobil ke bandara, menjemput Haruka. Bibir nya masih menggumamkan
kalimat-kalimat syukur, sekaligus kalimat-kalimat tidak jelas, seperti :
"untung saja", atau "hampir saja", atau "bagaimana kalau",
atau "kalau saja", dan kalimat-kalimat bernada lega bercampur takut
luar biasa. Bersyukur bahwa Haruka sedang berada di Jepang sebulan terakhir
ini.
Sang manajer belum bisa lepas dari
shock yang luar biasa akibat kata-kata dari Dul Gani. Sedikit tapi penuh dengan
suara setan didalamnya.
Kalimat "Saya dengar kalau kulit
orang jepang sangat halus, saya ingin menyempurnakan belahan jiwa saya dengan
kulit orang jepang" yang diucapkan Dul Gani ketika di kantor polisi,
berdengung tak henti di pikiran sang manajer.....

Tidak ada komentar:
Posting Komentar