Aku Citer, seekor cicak yang ingin berusaha berbagi cerita dengan kalian para manusia yang baik hati.
Oh, kalian heran kenapa seekor cicak bisa menulis tulisan dengan bahasa manusia? Sebenarnya kami, bangsa cicak, memiliki bahasa kami sendiri, bahasa cicak. Kami memiliki kesadaran berbahasa, dan kebetulan aku gemar sekali belajar bahasa manusia, jadilah aku bisa berbahasa manusia.
Mungkin cicak-cicak lain juga ada yang bisa berbahasa manusia, ada juga yang tertarik mempelajari bahasa ayam, bahasa kambing.
Tapi menurutku, mayoritas cicak yang aku tahu itu berkegiatan berdampingan dengan manusia, jadi aku berpikir belajar bahasa manusia mungkin akan jauh lebih berguna bagiku.
Ngomong-ngomong, kalau kalian ingin belajar bahasa cicak, cari aku saja, akan aku ajarkan.
Oke, kita lanjutkan lagi. Bukan bermaksud sombong, tapi aku dan cicak dari klan Cecarota lain bisa dibilang sebagai cicak yang high-class.
Karena apa? Dibanding klan-klan cicak lain didaerah ini, kami bertempat tinggal di sebuah mall, FX Sudirman Mall. Ya, klan kami sudah turun temurun menguasai mall ini, sejak mall ini dibangun beberapa tahun lalu.
Dan sejak itu, banyak generasi dari klan Cecarota sudah memiliki bermacam kisah di sini. Banyak generasi, karena siklus hidup cicak cuma kurang lebih dua tahun, jadi Cecarota saat ini memasuki generasi ke lima . Aku termasuk generasi ke lima.
Aku lahir sekitar setahun yang lalu, dari tujuh telur, hanya empat yang menetas, yaitu aku dan tiga adikku, Cipas, Citu, dan Cigon.
Proses kelahiran ini yang menarik, karena aku bisa mengingat dengan jelas momen-momen ketika sadar dan berusaha untuk keluar dari cangkang telur itu karena aku mendengar suara, yang dikalangan manusia dikenal sebagai 'musik'.
Kami para cicak memang dianugerahi kesadaran sesaat sebelum keluar dari cangkang telur.
Kemudian, musik itulah yang aku anggap sebagai penuntunku untuk akhirnya hidup di dunia dan melihat dunia yang indah ini.
Keluargaku, kebagian petak tempat tinggal di lantai empat dari FX Mall ini. Lantai yang ramai sekali, mungkin yang teramai dari seluruh lantai di mall. Dan itulah kenapa aku jadi lancar berbahasa manusia, karena aku sering memperhatikan manusia-manusia yang ada disini.
Namun, menurut cerita orangtuaku, dulunya petak tempat kami tinggal ini hanyalah sebuah ruang kosong dan berantakan. Baru sekitar dua tahun lalu, jaman-jaman orangtuaku masih pacaran, beberapa dari kalian, manusia, memutuskan untuk membangun sesuatu dari ruang ini.
Awalnya orangtua menentang itu, karena khawatir sisi tembok ruang, tempat keluargaku tinggal, akan ikut dibongkar. Orangtuaku bahkan sudah melapor ke tetua klan Cecarota, tapi tidak ada tindakan yang berarti dari para tetua.
Orangtuaku pun pernah suatu waktu melawan ke manusia-manusia yang sedang bekerja merombak ruang ini, dengan membuang -maaf- kotoran kearah mereka, tapi itu pun tidak begitu banyak membantu.
Yah, mau bagaimana lagi, kami kan memang spesies kecil. Hanya itu yang mampu kami lakukan.
Tapi pada akhirnya, tembok tempat tinggal kami tidak ikut kena perombakan. Mungkin hanya beberapa paku dan bor yang sedikit mengganggu tempat tinggal kami, tapi itu sudah tidak lagi menjadi masalah bagi kami.
Ruang yang dulu kosong itu sekarang berubah menjadi menarik. Secara keseluruhan, ruangan ini dibagi dua, dengan sekat seperti kain. Di satu sisi ada panggungnya dan ada kursi-kursi yang berderet (disana adalah tempat favoritku mencari makan, karena dibawah deretan kursi itu banyak sekali nyamuk).
Dan sisi lain, tempat tembok tempat tinggalku berada, terkesan berantakan dengan kain, yang dalam bahasa manusia disebut baju, dan manusia-manusia yang sibuk sekali.
Aku bersama adik jantanku, Cigon, suka sekali memperhatikan kesibukan manusia di sisi ruang yang berantakan ini. Sedangkan dua adik betinaku, Cipas dan Citu lebih suka di sisi lainnya, karena dari sana mereka bisa melihat manusia-manusia betina yang bergerak-gerak indah (dan kalau tidak salah, bahasa manusianya adalah 'menari'), dan suasana ruang yang temaram romantis dengan berbagai cahaya lampu yang indah.
Ah, betina memang suka dengan hal-hal sentimentil seperti itu kan.
Aku bukannya tidak suka dengan sisi ruang yang temaram itu, aku suka, aku juga suka melihat manusia betina yang cantik-cantik sedang menari di panggung. Aku hanya tidak terlalu suka dengan kerumunan manusia yang duduk dikursi. Mereka sering berteriak-teriak! Disela musik, atau setelah manusia betina di panggung itu selesai menari. Aku suka musik manusia, tapi tidak suka teriakan mereka.
Beberapa dari mereka juga berbau tidak sedap. Aku disitu baru sadar kalau manusia ternyata memiliki mekanisme mengeluarkan bau tidak sedap, seperti teman-temanku dari spesies walang sangit.
Jadi kalau aku ingin melihat tarian di atas panggung, aku selalu melihat dari atap dibalik lampu sorot. Dari sana, suara teriakan dan bau tadi tidak begitu mengganggu.
Mengenai manusia betina tadi, ada satu manusia yang akhir-akhir ini selalu aku perhatikan. Dia cantik, sama seperti manusia penari yang lainnya disana. Dia sering berada di depan cermin, dan meniru bebek, dengan memajukan bibirnya, lalu berpose di kamera.
Menurutku dia adalah manusia yang memahami perasaan makhluk hidup lainnya, buktinya dia suka sekali menirukan bibir bebek, dan aku bahagia bisa melihat manusia seperti dia. Seakan-akan, persetaraan spesies yang aku impikan dari dulu, terlihat tidak mustahil setelah melihat dia.
Dia juga sering aku lihat sedang tertidur. Mungkin yang paling sering tertidur daripada manusia-manusia lain diruangan itu. Ketika tidur, wajahnya masih tetap cantik. Aku sering memperhatikannya tertidur dari atas atap ruangan. Sesekali menjaganya dari nyamuk, sekaligus aku juga mencari makan.
Hari demi hari, aku jadi lupa bahwa disana ada banyak manusia cantik lainnya. Yang aku perhatikan hanya dia.
Suatu hari aku penasaran, ketika di suatu lagu, manusia-manusia penonton meneriakkan kata 'ayana-ayana-ayana' kepada dia. Setelah beberapa waktu kemudian, aku baru sadar, namanya adalah Ayana. Aku beberapa hari, beberapa minggu, dan beberapa bulan terakhir selalu memperhatikan Ayana.
Dia masih suka menirukan bibir bebek ketika di depan kamera, sering datang ke ruangan tempat tinggalku ini paling pertama diantara manusia penari lainnya.
Kalau saja Ayana adalah cicak betina, pasti aku sudah mengajaknya ke tetua klan untuk menikah dan bertelur bersama. Tapi semua itu mustahil, karena kita dipisahkan oleh jenjang spesies.
Jadilah aku hanya bisa melihat Ayana dari jauh, dari balik tembok, dari balik lampu sorot, kadang dari balik kipas angin yang aku akui berada di balik kipas itu sangat menegangkan. Aku bisa saja tersedot dan tercincang oleh kipas, kalau saja kakiku tidak memiliki perekat!
Pernah suatu hari, Cigon, yang memang masih kecil dan paling bandel diantara saudaraku yang lain, bermaksud iseng pada Ayana. Cigon bersembunyi dibalik baju yang akan dipakai Ayana yang sedang digantung di salah satu tembok.
Aku yang mengetahui adanya Cigon dibalik baju yang akan dipakai Ayana, akhirnya memberanikan diri jatuh tepat didepan kaki Ayana, hanya untuk membuatnya kaget dan tidak jadi memakai baju itu.
Aku rela dibenci dan diteriaki jijik oleh Ayana. Tapi saat itu, aku lakukan hal itu pun demi dia.
Mungkin saat ini, aku sedang dilanda apa yang dinamakan cinta oleh manusia.
Padahal aku tahu, rasa suka yang berbeda spesies ini adalah tabu, bahkan lebih tabu daripada rasa cinta berbeda agama milik manusia.
Tapi apa mau dikata kalau cinta sudah melanda.
Saat ini umurku sudah setahun lebih. Yang artinya, mungkin sebentar lagi ajalku akan tiba, menyusul orangtuaku. Siklus hidup cicak kan memang paling lama hidup dua tahun. Ketika umur sudah setahun lebih begini, kami sudah harus mempersiapkan mental menghadapi kematian. Kami juga harus mulai berpikir mencari pasangan dan bertelur bersama untuk membentuk keluarga baru, generasi baru.
Aku sadar, tidak mungkin aku berpasangan dengan manusia cantik yang aku dambakan selama ini, Ayana. Oleh karena itu, aku memilih untuk tidak mencari pasangan sesama cicak lain, hanya demi menjaga cintaku pada Ayana.
Di salah satu hari pun, aku pernah merayap jauh dan melelahkan ke lantai lima, hanya demi Ayana.
Saat itu, ruangan tempat tinggalku yang biasanya ramai dimalam hari, mendadak sepi. Aku terheran-heran. Sesaat setelah itu datanglah temanku, cicak dari teritorial lantai lima datang ke tempatku. Dia bercerita bahwa di salah satu tv di lantai lima, dia melihat info bahwa grup manusia penari yang didalamnya juga tergabung Ayana, akan tampil di salah satu acara tv, sejam dari sekarang.
Temanku tadi, bernama Cipog, juga sama sepertiku, dia paham bahasa manusia, karena rumahnya berada di tembok dibalik tv yang terpasang di lantai lima. Dari tv itulah, Cipog banyak belajar bahasa manusia.
Serta merta saat itu juga aku dan Cipog bergegas ke lantai lima. Normalnya kami hanya perlu merayap ke tombol lift, dan menyelinap masuk lift untuk sampai ke lantai lima.
Tapi dasar aku yang fobia dengan lift, karena pernah melihat salah seekor cicak dari klan ini yang tinggal di lantai dua mati tergencet pintu lift, aku lebih memilih untuk merayap melalui lubang pendingin ruangan untuk bisa ke lantai lima.
Saluran pendingin ruangan yang panjang berkelok-kelok, dan tentu saja dingin, aku lalui demi bisa melihat Ayana di tv.
Meski saat itu Ayana hanya sesekali saja disorot oleh kamera tv, tapi aku tetap puas bisa melihat Ayana lagi.
Lalu di penampilan manusia penari dan Ayana, di panggung ruang tempat tinggalku itu, aku juga hanya memperhatikan Ayana. Saat manusia penonton meneriakkan nama 'ayana-ayana-ayana' di awal suatu lagu, tanpa sadar aku juga berteriak sama. Tapi aku berteriaknya dalam bahasa cicak, yang mungkin bagi manusia hanya terdengar sebagai 'cek-ck-cek' begitu saja.
Aku pernah mencoba untuk menuliskan surat untuk Ayana, dan memasukkan surat itu ke dalam sebuah kotak, persis yang dilakukan oleh manusia penonton setelah pertunjukkan berakhir. Tapi oleh salah satu manusia yang tidak berambut, yang menjaga kotak itu, aku malah hampir dilempar sapu.
Ada satu lagi manusia yang aku hindari di ruangan itu. Manusia yang berbadan gemuk, berambut cepak, dan memakai sesuatu seperti kaca di matanya. Kenapa aku menghindari dia? Karena setiap kali dia melihatku, atau saudara-saudaraku, manusia gendut itu selalu berteriak jijik dan mengacung-acungkan sapu dengan liar kearahku.
Tentu saja aku takut dengan perlakuan seperti itu, padahal waktu itu aku hanya ingin mencari tahu Ayana ada dimana.
Memang susah menyukai sesuatu tapi banyak sekali yang tidak setuju.
Kadang aku bertanya-tanya, kenapa aku tidak diciptakan sebagai manusia, atau Ayana diciptakan sebagai seekor cicak.
Cinta beda spesies, cinta yang bertepuk sebelah tangan, yang ironis sekali karena aku sebenarnya memiliki empat tangan.
Semoga kalian para manusia tidak terjerumus kedalam lubang sengsara tiada akhir ini. Menurutku, masalah cinta beda agama yang manusia alami itu bukanlah apa-apa dibanding yang aku alami, cinta beda spesies.
Begitulah cerita yang ingin aku sampaikan untuk kalian para manusia. Walaupun mungkin diantara kalian para manusia ada yang tidak percaya dengan tulisanku ini, bahkan kalau ada yang tidak percaya bahwa cicak bisa mengerti bahasa manusia, percayalah.
Aku harap tulisanku ini bisa membuka pikiran manusia-manusia yang jijik kepada spesies kami. Karena jujur saja, kalian manusia tidak perlu jijik kalau bertemu kami. Kami para cicak, justru yang kabur apabila bertemu kalian para manusia. Kami malu bertemu kalian, karena spesies kami masih belum menemukan bagaimana caranya membuat baju untuk menutupi tubuh kami, layaknya kalian para manusia.
Mungkin, entah di generasi keberapa dari klan kami atau klan-klan lain yang masih satu spesies dengan kami, cicak, suatu saat bisa menemukan cara untuk membuat baju. Ketika saat itu tiba, aku harap, spesies cicak dan spesies manusia bisa lebih berkomunikasi, karena sebenarnya beberapa dari kami mengerti bahasa manusia.
Terakhir, kalau memungkinkan, tulisan ini juga sampaikan pada Ayana. Pesankan pada dia, untuk tetap semangat, dan percaya bahwa banyak manusia yang sayang kepadanya, bahkan aku pun juga salah satu fansnya.
Cukup sekian, para manusia. Terima kasih sudah membaca. Kalau sempat, mampirlah ke teritori keluargaku di lantai empat mall FX Sudirman. Mungkin kalian tidak akan menemukan generasi cicak dari keturunanku (karena aku memutuskan untuk tidak berpasangan), tapi akan ada generasi-generasi dari keturunan saudara-saudaraku. Tempat tinggal keluargaku mudah ditemukan, salah satu sudut ruang di lantai empat yang memiliki tulisan "JKT48 Theater" di pintu masuknya.
Sekali lagi, terima kasih, para manusia yang baik hati.
Salam,
Citer
(author: @PradanaAnandya)
Oh, kalian heran kenapa seekor cicak bisa menulis tulisan dengan bahasa manusia? Sebenarnya kami, bangsa cicak, memiliki bahasa kami sendiri, bahasa cicak. Kami memiliki kesadaran berbahasa, dan kebetulan aku gemar sekali belajar bahasa manusia, jadilah aku bisa berbahasa manusia.
Mungkin cicak-cicak lain juga ada yang bisa berbahasa manusia, ada juga yang tertarik mempelajari bahasa ayam, bahasa kambing.
Tapi menurutku, mayoritas cicak yang aku tahu itu berkegiatan berdampingan dengan manusia, jadi aku berpikir belajar bahasa manusia mungkin akan jauh lebih berguna bagiku.
Ngomong-ngomong, kalau kalian ingin belajar bahasa cicak, cari aku saja, akan aku ajarkan.
Oke, kita lanjutkan lagi. Bukan bermaksud sombong, tapi aku dan cicak dari klan Cecarota lain bisa dibilang sebagai cicak yang high-class.
Karena apa? Dibanding klan-klan cicak lain didaerah ini, kami bertempat tinggal di sebuah mall, FX Sudirman Mall. Ya, klan kami sudah turun temurun menguasai mall ini, sejak mall ini dibangun beberapa tahun lalu.
Dan sejak itu, banyak generasi dari klan Cecarota sudah memiliki bermacam kisah di sini. Banyak generasi, karena siklus hidup cicak cuma kurang lebih dua tahun, jadi Cecarota saat ini memasuki generasi ke lima . Aku termasuk generasi ke lima.
Aku lahir sekitar setahun yang lalu, dari tujuh telur, hanya empat yang menetas, yaitu aku dan tiga adikku, Cipas, Citu, dan Cigon.
Proses kelahiran ini yang menarik, karena aku bisa mengingat dengan jelas momen-momen ketika sadar dan berusaha untuk keluar dari cangkang telur itu karena aku mendengar suara, yang dikalangan manusia dikenal sebagai 'musik'.
Kami para cicak memang dianugerahi kesadaran sesaat sebelum keluar dari cangkang telur.
Kemudian, musik itulah yang aku anggap sebagai penuntunku untuk akhirnya hidup di dunia dan melihat dunia yang indah ini.
Keluargaku, kebagian petak tempat tinggal di lantai empat dari FX Mall ini. Lantai yang ramai sekali, mungkin yang teramai dari seluruh lantai di mall. Dan itulah kenapa aku jadi lancar berbahasa manusia, karena aku sering memperhatikan manusia-manusia yang ada disini.
Namun, menurut cerita orangtuaku, dulunya petak tempat kami tinggal ini hanyalah sebuah ruang kosong dan berantakan. Baru sekitar dua tahun lalu, jaman-jaman orangtuaku masih pacaran, beberapa dari kalian, manusia, memutuskan untuk membangun sesuatu dari ruang ini.
Awalnya orangtua menentang itu, karena khawatir sisi tembok ruang, tempat keluargaku tinggal, akan ikut dibongkar. Orangtuaku bahkan sudah melapor ke tetua klan Cecarota, tapi tidak ada tindakan yang berarti dari para tetua.
Orangtuaku pun pernah suatu waktu melawan ke manusia-manusia yang sedang bekerja merombak ruang ini, dengan membuang -maaf- kotoran kearah mereka, tapi itu pun tidak begitu banyak membantu.
Yah, mau bagaimana lagi, kami kan memang spesies kecil. Hanya itu yang mampu kami lakukan.
Tapi pada akhirnya, tembok tempat tinggal kami tidak ikut kena perombakan. Mungkin hanya beberapa paku dan bor yang sedikit mengganggu tempat tinggal kami, tapi itu sudah tidak lagi menjadi masalah bagi kami.
Ruang yang dulu kosong itu sekarang berubah menjadi menarik. Secara keseluruhan, ruangan ini dibagi dua, dengan sekat seperti kain. Di satu sisi ada panggungnya dan ada kursi-kursi yang berderet (disana adalah tempat favoritku mencari makan, karena dibawah deretan kursi itu banyak sekali nyamuk).
Dan sisi lain, tempat tembok tempat tinggalku berada, terkesan berantakan dengan kain, yang dalam bahasa manusia disebut baju, dan manusia-manusia yang sibuk sekali.
Aku bersama adik jantanku, Cigon, suka sekali memperhatikan kesibukan manusia di sisi ruang yang berantakan ini. Sedangkan dua adik betinaku, Cipas dan Citu lebih suka di sisi lainnya, karena dari sana mereka bisa melihat manusia-manusia betina yang bergerak-gerak indah (dan kalau tidak salah, bahasa manusianya adalah 'menari'), dan suasana ruang yang temaram romantis dengan berbagai cahaya lampu yang indah.
Ah, betina memang suka dengan hal-hal sentimentil seperti itu kan.
Aku bukannya tidak suka dengan sisi ruang yang temaram itu, aku suka, aku juga suka melihat manusia betina yang cantik-cantik sedang menari di panggung. Aku hanya tidak terlalu suka dengan kerumunan manusia yang duduk dikursi. Mereka sering berteriak-teriak! Disela musik, atau setelah manusia betina di panggung itu selesai menari. Aku suka musik manusia, tapi tidak suka teriakan mereka.
Beberapa dari mereka juga berbau tidak sedap. Aku disitu baru sadar kalau manusia ternyata memiliki mekanisme mengeluarkan bau tidak sedap, seperti teman-temanku dari spesies walang sangit.
Jadi kalau aku ingin melihat tarian di atas panggung, aku selalu melihat dari atap dibalik lampu sorot. Dari sana, suara teriakan dan bau tadi tidak begitu mengganggu.
Mengenai manusia betina tadi, ada satu manusia yang akhir-akhir ini selalu aku perhatikan. Dia cantik, sama seperti manusia penari yang lainnya disana. Dia sering berada di depan cermin, dan meniru bebek, dengan memajukan bibirnya, lalu berpose di kamera.
Menurutku dia adalah manusia yang memahami perasaan makhluk hidup lainnya, buktinya dia suka sekali menirukan bibir bebek, dan aku bahagia bisa melihat manusia seperti dia. Seakan-akan, persetaraan spesies yang aku impikan dari dulu, terlihat tidak mustahil setelah melihat dia.
Dia juga sering aku lihat sedang tertidur. Mungkin yang paling sering tertidur daripada manusia-manusia lain diruangan itu. Ketika tidur, wajahnya masih tetap cantik. Aku sering memperhatikannya tertidur dari atas atap ruangan. Sesekali menjaganya dari nyamuk, sekaligus aku juga mencari makan.
Hari demi hari, aku jadi lupa bahwa disana ada banyak manusia cantik lainnya. Yang aku perhatikan hanya dia.
Suatu hari aku penasaran, ketika di suatu lagu, manusia-manusia penonton meneriakkan kata 'ayana-ayana-ayana' kepada dia. Setelah beberapa waktu kemudian, aku baru sadar, namanya adalah Ayana. Aku beberapa hari, beberapa minggu, dan beberapa bulan terakhir selalu memperhatikan Ayana.
Dia masih suka menirukan bibir bebek ketika di depan kamera, sering datang ke ruangan tempat tinggalku ini paling pertama diantara manusia penari lainnya.
Kalau saja Ayana adalah cicak betina, pasti aku sudah mengajaknya ke tetua klan untuk menikah dan bertelur bersama. Tapi semua itu mustahil, karena kita dipisahkan oleh jenjang spesies.
Jadilah aku hanya bisa melihat Ayana dari jauh, dari balik tembok, dari balik lampu sorot, kadang dari balik kipas angin yang aku akui berada di balik kipas itu sangat menegangkan. Aku bisa saja tersedot dan tercincang oleh kipas, kalau saja kakiku tidak memiliki perekat!
Pernah suatu hari, Cigon, yang memang masih kecil dan paling bandel diantara saudaraku yang lain, bermaksud iseng pada Ayana. Cigon bersembunyi dibalik baju yang akan dipakai Ayana yang sedang digantung di salah satu tembok.
Aku yang mengetahui adanya Cigon dibalik baju yang akan dipakai Ayana, akhirnya memberanikan diri jatuh tepat didepan kaki Ayana, hanya untuk membuatnya kaget dan tidak jadi memakai baju itu.
Aku rela dibenci dan diteriaki jijik oleh Ayana. Tapi saat itu, aku lakukan hal itu pun demi dia.
Mungkin saat ini, aku sedang dilanda apa yang dinamakan cinta oleh manusia.
Padahal aku tahu, rasa suka yang berbeda spesies ini adalah tabu, bahkan lebih tabu daripada rasa cinta berbeda agama milik manusia.
Tapi apa mau dikata kalau cinta sudah melanda.
Saat ini umurku sudah setahun lebih. Yang artinya, mungkin sebentar lagi ajalku akan tiba, menyusul orangtuaku. Siklus hidup cicak kan memang paling lama hidup dua tahun. Ketika umur sudah setahun lebih begini, kami sudah harus mempersiapkan mental menghadapi kematian. Kami juga harus mulai berpikir mencari pasangan dan bertelur bersama untuk membentuk keluarga baru, generasi baru.
Aku sadar, tidak mungkin aku berpasangan dengan manusia cantik yang aku dambakan selama ini, Ayana. Oleh karena itu, aku memilih untuk tidak mencari pasangan sesama cicak lain, hanya demi menjaga cintaku pada Ayana.
Di salah satu hari pun, aku pernah merayap jauh dan melelahkan ke lantai lima, hanya demi Ayana.
Saat itu, ruangan tempat tinggalku yang biasanya ramai dimalam hari, mendadak sepi. Aku terheran-heran. Sesaat setelah itu datanglah temanku, cicak dari teritorial lantai lima datang ke tempatku. Dia bercerita bahwa di salah satu tv di lantai lima, dia melihat info bahwa grup manusia penari yang didalamnya juga tergabung Ayana, akan tampil di salah satu acara tv, sejam dari sekarang.
Temanku tadi, bernama Cipog, juga sama sepertiku, dia paham bahasa manusia, karena rumahnya berada di tembok dibalik tv yang terpasang di lantai lima. Dari tv itulah, Cipog banyak belajar bahasa manusia.
Serta merta saat itu juga aku dan Cipog bergegas ke lantai lima. Normalnya kami hanya perlu merayap ke tombol lift, dan menyelinap masuk lift untuk sampai ke lantai lima.
Tapi dasar aku yang fobia dengan lift, karena pernah melihat salah seekor cicak dari klan ini yang tinggal di lantai dua mati tergencet pintu lift, aku lebih memilih untuk merayap melalui lubang pendingin ruangan untuk bisa ke lantai lima.
Saluran pendingin ruangan yang panjang berkelok-kelok, dan tentu saja dingin, aku lalui demi bisa melihat Ayana di tv.
Meski saat itu Ayana hanya sesekali saja disorot oleh kamera tv, tapi aku tetap puas bisa melihat Ayana lagi.
Lalu di penampilan manusia penari dan Ayana, di panggung ruang tempat tinggalku itu, aku juga hanya memperhatikan Ayana. Saat manusia penonton meneriakkan nama 'ayana-ayana-ayana' di awal suatu lagu, tanpa sadar aku juga berteriak sama. Tapi aku berteriaknya dalam bahasa cicak, yang mungkin bagi manusia hanya terdengar sebagai 'cek-ck-cek' begitu saja.
Aku pernah mencoba untuk menuliskan surat untuk Ayana, dan memasukkan surat itu ke dalam sebuah kotak, persis yang dilakukan oleh manusia penonton setelah pertunjukkan berakhir. Tapi oleh salah satu manusia yang tidak berambut, yang menjaga kotak itu, aku malah hampir dilempar sapu.
Ada satu lagi manusia yang aku hindari di ruangan itu. Manusia yang berbadan gemuk, berambut cepak, dan memakai sesuatu seperti kaca di matanya. Kenapa aku menghindari dia? Karena setiap kali dia melihatku, atau saudara-saudaraku, manusia gendut itu selalu berteriak jijik dan mengacung-acungkan sapu dengan liar kearahku.
Tentu saja aku takut dengan perlakuan seperti itu, padahal waktu itu aku hanya ingin mencari tahu Ayana ada dimana.
Memang susah menyukai sesuatu tapi banyak sekali yang tidak setuju.
Kadang aku bertanya-tanya, kenapa aku tidak diciptakan sebagai manusia, atau Ayana diciptakan sebagai seekor cicak.
Cinta beda spesies, cinta yang bertepuk sebelah tangan, yang ironis sekali karena aku sebenarnya memiliki empat tangan.
Semoga kalian para manusia tidak terjerumus kedalam lubang sengsara tiada akhir ini. Menurutku, masalah cinta beda agama yang manusia alami itu bukanlah apa-apa dibanding yang aku alami, cinta beda spesies.
Begitulah cerita yang ingin aku sampaikan untuk kalian para manusia. Walaupun mungkin diantara kalian para manusia ada yang tidak percaya dengan tulisanku ini, bahkan kalau ada yang tidak percaya bahwa cicak bisa mengerti bahasa manusia, percayalah.
Aku harap tulisanku ini bisa membuka pikiran manusia-manusia yang jijik kepada spesies kami. Karena jujur saja, kalian manusia tidak perlu jijik kalau bertemu kami. Kami para cicak, justru yang kabur apabila bertemu kalian para manusia. Kami malu bertemu kalian, karena spesies kami masih belum menemukan bagaimana caranya membuat baju untuk menutupi tubuh kami, layaknya kalian para manusia.
Mungkin, entah di generasi keberapa dari klan kami atau klan-klan lain yang masih satu spesies dengan kami, cicak, suatu saat bisa menemukan cara untuk membuat baju. Ketika saat itu tiba, aku harap, spesies cicak dan spesies manusia bisa lebih berkomunikasi, karena sebenarnya beberapa dari kami mengerti bahasa manusia.
Terakhir, kalau memungkinkan, tulisan ini juga sampaikan pada Ayana. Pesankan pada dia, untuk tetap semangat, dan percaya bahwa banyak manusia yang sayang kepadanya, bahkan aku pun juga salah satu fansnya.
Cukup sekian, para manusia. Terima kasih sudah membaca. Kalau sempat, mampirlah ke teritori keluargaku di lantai empat mall FX Sudirman. Mungkin kalian tidak akan menemukan generasi cicak dari keturunanku (karena aku memutuskan untuk tidak berpasangan), tapi akan ada generasi-generasi dari keturunan saudara-saudaraku. Tempat tinggal keluargaku mudah ditemukan, salah satu sudut ruang di lantai empat yang memiliki tulisan "JKT48 Theater" di pintu masuknya.
Sekali lagi, terima kasih, para manusia yang baik hati.
Salam,
Citer
(author: @PradanaAnandya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar