Selasa, 11 Maret 2014

Sofa Bernyawa (fanfict inspired by @Yona_JKT48; @Lidya_JKT48; @Viny_JKT48, and Edogawa Rampo)


"Lari Vin!" teriak Lidya sekencang mungkin.

Vinny yang saat itu berada dibelakang  Lidya dan Yona, mempercepat larinya.
 Keadaan mall yang sudah gelap makin mempersulit langkah ketiga gadis muda itu.

"Kak Yon! Tunggu Vinny, dia masih diatas!" kali ini Lidya berteriak pada Yona yang sudah berada di lantai tiga. Lidya menahan larinya ketika menuruni eskalator yang sudah dimatikan powernya saat itu, hingga tak ubahnya seperti tangga biasa.

Vinny yang masih terengah-engah lalu menyusul dibelakang Lidya.

"Si-siapa o-orang itu?" tanya Vinny pada dua temannya itu dengan nafas yang masih berat. Ketiganya kini tengah berlari menelusuri lorong mall lantai tiga menuju eskalator yang menghubungkan ke lantai dua.

"Gak tahu, Vin. Yang penting sekarang kita selamatkan diri dulu!" jawab Yona tidak kalah panik.

Sementara itu, sosok pria kurus, dengan tangan kanan menggenggam sebilah badik yang ia temukan di toko perkakas saat mengejar tiga gadis itu, terus mengejar dan tidak terlihat melambatkan kecepatan larinya.

Kedua matanya terlihat menonjol, karena tulang pipinya yang kurus, terus menatap punggung rapuh ketiga buruannya itu. Nafas pria itu tidak karuan, seiring dengan genggamannya pada badik yang semakin erat.

Nyawa ketiga gadis itu dalam bahaya. Bahaya yang sangat besar.


***


Dua jam sebelumnya..

"Eh, kamu tahu charger handphone ku ada dimana ya?" tanya Vinny.

"Sudah aku kembalikan kan? Tadi kamu pake di meja rias, masa lupa?" ketus Lidya.

"Ketinggalan deh kayaknya.. Gimana dong? Temenin ambilin ke atas yuk.."

"Enggak! Besok aja sekalian..."

"Tapi besok aku ga ada jadwal theater, Lid.. Besok aku harus ikut study tour sekolah.. Kalo ga diambil sekarang, mau ngecharge hape pake apa coba?"

"Nyonya Vinny, tapi mall sudah dimatikan semua tuh lampu-lampunya. Sudah gelap tuh didalem."

"Nggak papa, Lid. Cuma sebentar deh janji."

"Ada apa sih?" Yona yang sedari tadi sibuk menerima telpon dari orang tua nya, kini ikut penasaran dengan perbincangan Vinny dan Lidya saat itu.

"Chargerku ketinggalan di theater, kak Yon.. Gimana dong ini.."

Sesaat Yona terlihat diam dan menatap kedalam mall yang sudah gelap.

"Tapi, ntar kalau taksinya datang? Kan barusan sudah pesan taksi."


"Iya, sebentar doang kok kak Yon. Ayolah.."

"Cepetan lho ya.."

"Sip, iya kak Yon."

Yona akhirnya, meski dengan sedikit ketakutan, mau mengantar Vinny masuk lagi kedalam mall.

"Kamu gimana Lid? Nunggu taksi diluar sini yah?"

"AWAS AJA KALAU KAK YONA BERANI NINGGALIN AKU DISINI SENDIRIAN...."

"Hahaha, yaudah ayo ikut kedalam!"

"Dasar Lid.... Tadi katanya nggak mau anterin."

"Yeee, lebih nggak mau lagi kalau ditinggal sendirian malem-malem gini keleus.."

Yona, Vinny, dan Lidya akhirnya memberanikan diri masuk kedalam mall yang sudah hampir gelap total itu. Suasana mall ketika jam operasionalnya dibanding dengan saat ini, sangat berbeda jauh. Mall yang biasanya hiruk pikuk dengan berbagai macam suara, mulai dari percakapan antar pengunjung mall hingga background musik dari bermacam toko yang seakan berlomba siapa yang paling berisik, di malam hari begini, mendadak sunyi senyap.
Hanya derap langkah dari ketiga gadis itu yang menggema hampir ke seluruh penjuru mall.

"Serem banget sih.." bisik Vinny pelan.

"Ah elah, tadi siapa yang getol minta balik lagi kedalam mall?" timpal Lidya.

"Udah ah, ayo cepetan jalannya. Cepet sampe theater, cepet keluar lagi dari sini." ujar Yona menengahi.

Tak pelak, kini suara gema langkah kaki ketiga gadis itu terdengar semakin cepat ritme nya, karena mereka bertiga kini setengah berlari.

"Ngomong-ngomong, sofa baru yang ada di backstage itu enak banget yah. Siapa yang beli sofa itu? Kak manajer?" tanya Vinny memecah kesunyian diantara mereka bertiga.

"Nggak tahu ya. Katanya sih itu gift dari fans." Lidya setengah yakin menjawab.

"Wih.. Ada yang ngegift sofa?! Gile.. Terus, gift buat siapa tuh sofa?" sambung Yona penasaran.

"Nah itu uniknya, gift itu bukan ditujukan ke member tertentu. Di kartunya, itu gift untuk "jkt48" gitu doang. Makanya, sama kak manajer, sofa itu ditaruh di backstage, lumayan lah ya, daripada yang lama, cuma kursi kayu panjang yang jadi tempat duduk di backstage." jawab Lidya lagi.

"Iya tuh, enak banget sofanya, besar banget juga. Dipake tidur dua orang juga muat, haha. Ya kan, waktu itu si Acha sama Nadila tidur sebelahan di sofa." ujar Vinny menahan ketawa.

"Yee, itu kan soalnya mereka berdua pada kurus-kurus, jadinya pada muat tidur berdua." jawab Lidya asal.

Tawa renyah kemudian menggema pelan di lantai empat, tempat mereka berada sekarang.

"Udah hayuk, cepet masuk theater, cepet diambil, terus cepet keluar." perintah Yona sambil mengeluarkan kunci duplikat untuk teralis dan pintu theater. Memang seluruh member jkt48 masing-masing diberi satu duplikat kunci theater.

Vinny kemudian sesegera mungkin membuka pintu theater yang sudah dibuka kuncinya oleh Yona. Disusul kemudian Lidya yang masuk dibelakang Vinny, lalu Yona yang terakhir.

Theater terasa seperti menelan keberadaan mereka bertiga. Selambu tebal yang biasa menutupi jendela juga sudah tertutup rapat, tidak meninggalkan celah sedikitpun untuk cahaya dari luar bisa masuk kedalam.

Vinny kemudian menyalakan satu-satunya lampu yang bisa dihidupkan saat tengah malam, lampu lorong tengah menuju ke panggung. Hanya lampu itu yang terhubung ke genset mall, karena sesuai policy dari mall tersebut, pasokan listrik utama dari mall akan dimatikan diatas jam sebelas malam. Pasokan listrik cadangan hanya disediakan media genset.

Cahaya cukup terang kemudian menyelimuti lorong theater. Membuat ketiga gadis itu sedikit lega.
Meski cahaya lampu itu cukup terang untuk lorong, tapi nyatanya tidak cukup banyak menerangi ruang backstage.

Begitu melangkah ke dalam backstage, suasana kembali temaram..
Membuat nyali ketiga gadis itu kembali menyusut.

"Gelap yah.."

"Iyalah, sudah malem juga.." Lidya mulai gemas dengan komentar-komentar pengusir panik yang diucapkan oleh Vinny.

"Itu kan? Ayo cepet diambil Vin." sekali lagi Yona memerintah Vinny untuk bergegas mengambil charger hape miliknya yang saat ini sedang ditunjuk oleh Yona dengan bantuan senter kecil dari hapenya.

Secepat kilat Vinny melangkah ke arah meja rias, mengambil charger dari soket listrik disamping meja rias itu, lalu kembali ke tempat Lidya dan Yona berdiri menunggunya.

"Hufh... Ayo, kita keluar dari sini."

"Bentar kak Yon. Tolong dong arahin senter tadi, aku mau gulung kabel charger ini dulu," pinta Vinny ke Yona.

"Oke. Oke.."

Dengan sabar Yona mengarahkan kembali senter hapenya kearah tangan Vinny yang sibuk menggulung kabel charger.

Cahaya senter yang diarahkan tinggi ke tangan Vinny ternyata juga menyapu hampir separuh dari ruang backstage. Menerangi sebagian dari meja rias. Menerangi sedikit dari deretan gantungan baju-baju show jkt48. Dan sisa cahaya senter tadi juga mengenai sofa besar di seberang meja rias.

Sisa cahaya yang tepat mengenai sedikit bagian sandaran tangan sebelah kiri dari sofa besar itu.

Sisa cahaya yang seketika itu juga mengenai sesuatu yang muncul dari pinggir sandaran tangan sofa itu.. Sesuatu yang mampu membuat Lidya yang tengah memandang sofa itu, terbujur kaku ditempatnya berdiri sekarang..

Sesuatu, berbentuk bundar, tengah beradu mata dengan Lidya. Kepala manusia, kurus, dengan mata seperti menonjol, terlihat janggal menyembul dari samping sandaran tangan pada sofa.

Lidya kehilangan suaranya..


***


Ketiga gadis itu masih berlari melintasi deretan toko di lantai tiga yang sudah gelap, ketika kemudian Vinny memerintahkan Lidya dan Yona untuk berhenti berlari.

"Kenapa Vin?" tanya Lidya terengah-engah.

"Orang itu... Dia nggak ada dibelakang kita!"

Lidya dan Yona otomatis memicingkan mata, menatap menembus gelap jauh ke belakang mereka, mencoba untuk menangkap sosok kurus kering yang mengejar mereka.

Dan benar, sosok itu sudah tidak terlihat.

"Kemana?"

"Apa dia hantu?" suara Lidya terdengar bergetar saking takutnya.

"Telpon polisi.. Polisi!" Yona sepertinya menjadi satu-satunya diantara mereka bertiga yang masih bisa berpikir jernih pada situasi tersebut.

Hingga pada akhirnya, polisi datang bersama manajer ketiga gadis itu, menutup horor yang dialami ketiga gadis malam itu.

Polisi menyusur tiap sudut mall yang kini sudah dihidupkan kembali aliran listriknya oleh pengelola mall yang juga datang bersama polisi.

Satu jam kemudian, situasi dapat dikendalikan dengan ditangkapnya sosok kurus kering yang tadi meneror Lidya, Yona, dan Vinny. Ketiganya bernafas lega. 

Horor malam itu berakhir.


***


Pelaku penyerangan itu teridentifikasi bernama Dul Gani. Seorang pengrajin mebel. Cukup disegani di daerahnya.

Sosoknya memang kurus, seperti tidak terawat. Dengan muka lonjong, dan tulang pipi yang menonjol sehingga kedua bola matanya tampak seperti selalu melotot.

Dia sebenarnya seorang pengrajin mebel, pembuat kursi, yang cukup disegani. Banyak pesanan kursi yang datang padanya.

Menurut pengakuannya kepada polisi, segala ide dari perbuatan gilanya itu datang dari sebuah buku. Karya Edogawa Rampo. Dia merasa memiliki banyak kesamaan dengan tokoh pada salah satu cerita karya Rampo yang berjudul 'Kursi Bernyawa'.

Dia mengaku juga memiliki hasrat dan perasaan yang sama dengan cerita itu, terhadap kursi-kursi dan sofa-sofa buatannya. Dia jatuh cinta pada tiap karyanya.

Hingga pada suatu ketika, setelah dia menyelesaikan membaca cerita itu, timbul ide gilanya untuk meniru. Dengan kemampuan dan kredibilitasnya sebagai pengrajin handal, tentu itu bukan suatu yang susah. Jika didalam cerita, ide 'Kursi Bernyawa' itu hanya sebuah fiksi, dia ingin merasakannya di dunia nyata.

Lalu mulailah Dul Gani bekerja siang malam dan bahkan sampai melewatkan makan dan tidur untuk mengerjakan 'belahan hati' nya. Bayangan-bayangan sebuah mahakarya terus berputar di angan-angannya. Sofa ini harus sempurna.

Tiga bulan total waktu yang dia habiskan untuk melahirkan mahakaryanya, hampir tanpa makan dan tidur. Mahakarya itu berbentuk sofa, besar, lebar, lembut namun tak terlalu lembut, berlapis kulit kualitas kelas satu, kokoh, dan sempurna.

Hanya satu yang tidak orang kira, sofa itu juga merupakan 'peti mati' yang Dul Gani buat untuk dirinya sendiri. Dia membuat rongga yang cukup untuk dirinya masuk ke dalam sofa. Kepala dan badan masuk ke tempat sandaran kursi, dan bagian kakinya bertempat di bantalan duduk sofa itu. Mengubur secara sempurna tubuh Dul Gani. Tidak lupa juga dia membuat lubang kecil untuknya mendengar suasana diluar persembunyiannya. Dan sedikit lubang yang tidak terlihat dari luar untuk tempatnya mendapat udara sekaligus celah mengintip.

Kulit kualitas satu, dan busa serta pegas yang juga kelas satu, membuat penyamaran yang begitu sempurna bagi tubuh kurus Dul Gani untuk bersembunyi di dalamnya.

Orang diluar, tak akan tahu bahwa dibalik kulit sofa dan busa itu, ada daging manusia. Hidup, dengan urat dan nadi yang masih mengalir darah, dengan jantung yang masih berdegup, dengan telinga yang mendengarkan apa saja yang terjadi diluar, dengan hembusan nafas yang diatur sedemikian rupa agar tidak terdengar. Kursi sofa itu menyembunyikan seorang psikopat sakit didalamnya.

Bertahun-tahun karir sebagai pengrajin kursi sudah dilalui Dul Gani, tapi jelas, sofa yang ini adalah yang paling spesial. Bahkan dia masih bisa membuat rongga di dalam kursi itu untuk keperluan hidupnya seperti rongga untuk menaruh beberapa biskuit dan air minum, serta rongga untuk meletakkan tas karet sebagai wadah kebutuhan alami nya.

Sofa itu sudah berada di dalam backstage jkt48 selama hampir sebulan, dan hampir sebulan itu pula Dul Gani menjalani hidup sebagai setan. Bersembunyi dalam kegelapan, keluar persembunyian saat suasana sepi malam hari, untuk mengambil dan mencuri beberapa keperluan makan dan air. Atau sekedar ke kamar kecil di tengah malam. Sampai pada malam itu, ketika matanya tidak sengaja bertemu dengan mata Lidya. 
Semua kedok nya terbongkar. 
Mahakaryanya terancam. 
Belahan jiwanya terancam.

Lalu polisi sampai pada pertanyaan, kenapa jkt48..

Dul Gani awalnya tidak menjawab. Beberapa paksaan dari polisi tidak juga mampu membuatnya berbicara. Pukulan, atau beberapa model siksaan ringan, dilakukan penyidik untuk memaksanya berbicara tentang motifnya kenapa dia melaksanakan aksinya dengan menarget jkt48.

Beberapa jam dilalui sia-sia hanya untuk menunggu Dul Gani berbicara.

Hingga pada suatu menit, dia berbicara. Dengan suara yang tidak terlalu keras, mungkin menahan sakit karena dua giginya lepas akibat pukulan dari penyidik.

Kata-kata yang keluar dari mulutnya tidak banyak, tapi mampu membuat manajer jkt48 yang saat itu juga berada di ruang penyidik, berkeringat dingin dan shock. Berkali-kali sang manajer menatap ke arah tembok dengan tatapan kosong, sambil dia berbicara di telepon dengan Haruka yang saat ini sudah berada di bandara, barusan landing dari Jepang. Haruka memang sebulan terakhir ini berada di Jepang untuk urusan pekerjaan dia dengan akb48, sekaligus mengurus visa miliknya.

Interograsi Dul Gani telah selesai malam itu. Polisi dan penyidik sudah mendapatkan cukup bukti dan testimoni motif dari Dul Gani untuk menjebloskannya kedalam penjara untuk waktu yang sangat lama.

Sang manajer, saat ini tengah menyetir mobil ke bandara, menjemput Haruka. Bibir nya masih menggumamkan kalimat-kalimat syukur, sekaligus kalimat-kalimat tidak jelas, seperti : "untung saja", atau "hampir saja", atau "bagaimana kalau", atau "kalau saja", dan kalimat-kalimat bernada lega bercampur takut luar biasa. Bersyukur bahwa Haruka sedang berada di Jepang sebulan terakhir ini.

Sang manajer belum bisa lepas dari shock yang luar biasa akibat kata-kata dari Dul Gani. Sedikit tapi penuh dengan suara setan didalamnya.

Kalimat "Saya dengar kalau kulit orang jepang sangat halus, saya ingin menyempurnakan belahan jiwa saya dengan kulit orang jepang" yang diucapkan Dul Gani ketika di kantor polisi, berdengung tak henti di pikiran sang manajer.....

Sabtu, 11 Januari 2014

Cicak - Cicak di Dinding (fanfict inspired by @achanJKT48)

Aku Citer, seekor cicak yang ingin berusaha berbagi cerita dengan kalian para manusia yang baik hati.

Oh, kalian heran kenapa seekor cicak bisa menulis tulisan dengan bahasa manusia? Sebenarnya kami, bangsa cicak, memiliki bahasa kami sendiri, bahasa cicak. Kami memiliki kesadaran berbahasa, dan kebetulan aku gemar sekali belajar bahasa manusia, jadilah aku bisa berbahasa manusia.

Mungkin cicak-cicak lain juga ada yang bisa berbahasa manusia, ada juga yang tertarik mempelajari bahasa ayam, bahasa kambing.

Tapi menurutku, mayoritas cicak yang aku tahu itu berkegiatan berdampingan dengan manusia, jadi aku berpikir belajar bahasa manusia mungkin akan jauh lebih berguna bagiku.

Ngomong-ngomong, kalau kalian ingin belajar bahasa cicak, cari aku saja, akan aku ajarkan.

Oke, kita lanjutkan lagi. Bukan bermaksud sombong, tapi aku dan cicak dari klan Cecarota lain bisa dibilang sebagai cicak yang high-class.

Karena apa? Dibanding klan-klan cicak lain didaerah ini, kami bertempat tinggal di sebuah mall, FX Sudirman Mall. Ya, klan kami sudah turun temurun menguasai mall ini, sejak mall ini dibangun beberapa tahun lalu.

Dan sejak itu, banyak generasi dari klan Cecarota sudah memiliki bermacam kisah di sini. Banyak generasi, karena siklus hidup cicak cuma kurang lebih dua tahun, jadi Cecarota saat ini memasuki generasi ke lima . Aku termasuk generasi ke lima.

Aku lahir sekitar setahun yang lalu, dari tujuh telur, hanya empat yang menetas, yaitu aku dan tiga adikku, Cipas, Citu, dan Cigon.

Proses kelahiran ini yang menarik, karena aku bisa mengingat dengan jelas momen-momen ketika sadar dan berusaha untuk keluar dari cangkang telur itu karena aku mendengar suara, yang dikalangan manusia dikenal sebagai 'musik'.

Kami para cicak memang dianugerahi kesadaran sesaat sebelum keluar dari cangkang telur.

Kemudian, musik itulah yang aku anggap sebagai penuntunku untuk akhirnya hidup di dunia dan melihat dunia yang indah ini.

Keluargaku, kebagian petak tempat tinggal di lantai empat dari FX Mall ini. Lantai yang ramai sekali, mungkin yang teramai dari seluruh lantai di mall. Dan itulah kenapa aku jadi lancar berbahasa manusia, karena aku sering memperhatikan manusia-manusia yang ada disini.

Namun, menurut cerita orangtuaku, dulunya petak tempat kami tinggal ini hanyalah sebuah ruang kosong dan berantakan. Baru sekitar dua tahun lalu, jaman-jaman orangtuaku masih pacaran, beberapa dari kalian, manusia, memutuskan untuk membangun sesuatu dari ruang ini.

Awalnya orangtua menentang itu, karena khawatir sisi tembok ruang, tempat keluargaku tinggal, akan ikut dibongkar. Orangtuaku bahkan sudah melapor ke tetua klan Cecarota, tapi tidak ada tindakan yang berarti dari para tetua.

Orangtuaku pun pernah suatu waktu melawan ke manusia-manusia yang sedang bekerja merombak ruang ini, dengan membuang -maaf- kotoran kearah mereka, tapi itu pun tidak begitu banyak membantu.

Yah, mau bagaimana lagi, kami kan memang spesies kecil. Hanya itu yang mampu kami lakukan.

Tapi pada akhirnya, tembok tempat tinggal kami tidak ikut kena perombakan. Mungkin hanya beberapa paku dan bor yang sedikit mengganggu tempat tinggal kami, tapi itu sudah tidak lagi menjadi masalah bagi kami.

Ruang yang dulu kosong itu sekarang berubah menjadi menarik. Secara keseluruhan, ruangan ini dibagi dua, dengan sekat seperti kain. Di satu sisi ada panggungnya dan ada kursi-kursi yang berderet (disana adalah tempat favoritku mencari makan, karena dibawah deretan kursi itu banyak sekali nyamuk).

Dan sisi lain, tempat tembok tempat tinggalku berada, terkesan berantakan dengan kain, yang dalam bahasa manusia disebut baju, dan manusia-manusia yang sibuk sekali.

Aku bersama adik jantanku, Cigon, suka sekali memperhatikan kesibukan manusia di sisi ruang yang berantakan ini. Sedangkan dua adik betinaku, Cipas dan Citu lebih suka di sisi lainnya, karena dari sana mereka bisa melihat manusia-manusia betina yang bergerak-gerak indah (dan kalau tidak salah, bahasa manusianya adalah 'menari'), dan suasana ruang yang temaram romantis dengan berbagai cahaya lampu yang indah.

Ah, betina memang suka dengan hal-hal sentimentil seperti itu kan.

Aku bukannya tidak suka dengan sisi ruang yang temaram itu, aku suka, aku juga suka melihat manusia betina yang cantik-cantik sedang menari di panggung. Aku hanya tidak terlalu suka dengan kerumunan manusia yang duduk dikursi. Mereka sering berteriak-teriak! Disela musik, atau setelah manusia betina di panggung itu selesai menari. Aku suka musik manusia, tapi tidak suka teriakan mereka.

Beberapa dari mereka juga berbau tidak sedap. Aku disitu baru sadar kalau manusia ternyata memiliki mekanisme mengeluarkan bau tidak sedap, seperti teman-temanku dari spesies walang sangit.

Jadi kalau aku ingin melihat tarian di atas panggung, aku selalu melihat dari atap dibalik lampu sorot. Dari sana, suara teriakan dan bau tadi tidak begitu mengganggu.

Mengenai manusia betina tadi, ada satu manusia yang akhir-akhir ini selalu aku perhatikan. Dia cantik, sama seperti manusia penari yang lainnya disana. Dia sering berada di depan cermin, dan meniru bebek, dengan memajukan bibirnya, lalu berpose di kamera.

Menurutku dia adalah manusia yang memahami perasaan makhluk hidup lainnya, buktinya dia suka sekali menirukan bibir bebek, dan aku bahagia bisa melihat manusia seperti dia. Seakan-akan, persetaraan spesies yang aku impikan dari dulu, terlihat tidak mustahil setelah melihat dia.

Dia juga sering aku lihat sedang tertidur. Mungkin yang paling sering tertidur daripada manusia-manusia lain diruangan itu. Ketika tidur, wajahnya masih tetap cantik. Aku sering memperhatikannya tertidur dari atas atap ruangan. Sesekali menjaganya dari nyamuk, sekaligus aku juga mencari makan.

Hari demi hari, aku jadi lupa bahwa disana ada banyak manusia cantik lainnya. Yang aku perhatikan hanya dia.

Suatu hari aku penasaran, ketika di suatu lagu, manusia-manusia penonton meneriakkan kata 'ayana-ayana-ayana' kepada dia. Setelah beberapa waktu kemudian, aku baru sadar, namanya adalah Ayana. Aku beberapa hari, beberapa minggu, dan beberapa bulan terakhir selalu memperhatikan Ayana.

Dia masih suka menirukan bibir bebek ketika di depan kamera, sering datang ke ruangan tempat tinggalku ini paling pertama diantara manusia penari lainnya.

Kalau saja Ayana adalah cicak betina, pasti aku sudah mengajaknya ke tetua klan untuk menikah dan bertelur bersama. Tapi semua itu mustahil, karena kita dipisahkan oleh jenjang spesies.

Jadilah aku hanya bisa melihat Ayana dari jauh, dari balik tembok, dari balik lampu sorot, kadang dari balik kipas angin yang aku akui berada di balik kipas itu sangat menegangkan. Aku bisa saja tersedot dan tercincang oleh kipas, kalau saja kakiku tidak memiliki perekat!

Pernah suatu hari, Cigon, yang memang masih kecil dan paling bandel diantara saudaraku yang lain, bermaksud iseng pada Ayana. Cigon bersembunyi dibalik baju yang akan dipakai Ayana yang sedang digantung di salah satu tembok.

Aku yang mengetahui adanya Cigon dibalik baju yang akan dipakai Ayana, akhirnya memberanikan diri jatuh tepat didepan kaki Ayana, hanya untuk membuatnya kaget dan tidak jadi memakai baju itu.

Aku rela dibenci dan diteriaki jijik oleh Ayana. Tapi saat itu, aku lakukan hal itu pun demi dia.

Mungkin saat ini, aku sedang dilanda apa yang dinamakan cinta oleh manusia.

Padahal aku tahu, rasa suka yang berbeda spesies ini adalah tabu, bahkan lebih tabu daripada rasa cinta berbeda agama milik manusia.

Tapi apa mau dikata kalau cinta sudah melanda.

Saat ini umurku sudah setahun lebih. Yang artinya, mungkin sebentar lagi ajalku akan tiba, menyusul orangtuaku. Siklus hidup cicak kan memang paling lama hidup dua tahun. Ketika umur sudah setahun lebih begini, kami sudah harus mempersiapkan mental menghadapi kematian. Kami juga harus mulai berpikir mencari pasangan dan bertelur bersama untuk membentuk keluarga baru, generasi baru.

Aku sadar, tidak mungkin aku berpasangan dengan manusia cantik yang aku dambakan selama ini, Ayana. Oleh karena itu, aku memilih untuk tidak mencari pasangan sesama cicak lain, hanya demi menjaga cintaku pada Ayana.

Di salah satu hari pun, aku pernah merayap jauh dan melelahkan ke lantai lima, hanya demi Ayana.

Saat itu, ruangan tempat tinggalku yang biasanya ramai dimalam hari, mendadak sepi. Aku terheran-heran. Sesaat setelah itu datanglah temanku, cicak dari teritorial lantai lima datang ke tempatku. Dia bercerita bahwa di salah satu tv di lantai lima, dia melihat info bahwa grup manusia penari yang didalamnya juga tergabung Ayana, akan tampil di salah satu acara tv, sejam dari sekarang.

Temanku tadi, bernama Cipog, juga sama sepertiku, dia paham bahasa manusia, karena rumahnya berada di tembok dibalik tv yang terpasang di lantai lima. Dari tv itulah, Cipog banyak belajar bahasa manusia.

Serta merta saat itu juga aku dan Cipog bergegas ke lantai lima. Normalnya kami hanya perlu merayap ke tombol lift, dan menyelinap masuk lift untuk sampai ke lantai lima.

Tapi dasar aku yang fobia dengan lift, karena pernah melihat salah seekor cicak dari klan ini yang tinggal di lantai dua mati tergencet pintu lift, aku lebih memilih untuk merayap melalui lubang pendingin ruangan untuk bisa ke lantai lima.

Saluran pendingin ruangan yang panjang berkelok-kelok, dan tentu saja dingin, aku lalui demi bisa melihat Ayana di tv.

Meski saat itu Ayana hanya sesekali saja disorot oleh kamera tv, tapi aku tetap puas bisa melihat Ayana lagi.

Lalu di penampilan manusia penari dan Ayana, di panggung ruang tempat tinggalku itu, aku juga hanya memperhatikan Ayana. Saat manusia penonton meneriakkan nama 'ayana-ayana-ayana' di awal suatu lagu, tanpa sadar aku juga berteriak sama. Tapi aku berteriaknya dalam bahasa cicak, yang mungkin bagi manusia hanya terdengar sebagai 'cek-ck-cek' begitu saja.

Aku pernah mencoba untuk menuliskan surat untuk Ayana, dan memasukkan surat itu ke dalam sebuah kotak, persis yang dilakukan oleh manusia penonton setelah pertunjukkan berakhir. Tapi oleh salah satu manusia yang tidak berambut, yang menjaga kotak itu, aku malah hampir dilempar sapu.

Ada satu lagi manusia yang aku hindari di ruangan itu. Manusia yang berbadan gemuk, berambut cepak, dan memakai sesuatu seperti kaca di matanya. Kenapa aku menghindari dia? Karena setiap kali dia melihatku, atau saudara-saudaraku, manusia gendut itu selalu berteriak jijik dan mengacung-acungkan sapu dengan liar kearahku.

Tentu saja aku takut dengan perlakuan seperti itu, padahal waktu itu aku hanya ingin mencari tahu Ayana ada dimana.

Memang susah menyukai sesuatu tapi banyak sekali yang tidak setuju.

Kadang aku bertanya-tanya, kenapa aku tidak diciptakan sebagai manusia, atau Ayana diciptakan sebagai seekor cicak.

Cinta beda spesies, cinta yang bertepuk sebelah tangan, yang ironis sekali karena aku sebenarnya memiliki empat tangan.

Semoga kalian para manusia tidak terjerumus kedalam lubang sengsara tiada akhir ini. Menurutku, masalah cinta beda agama yang manusia alami itu bukanlah apa-apa dibanding yang aku alami, cinta beda spesies.

Begitulah cerita yang ingin aku sampaikan untuk kalian para manusia. Walaupun mungkin diantara kalian para manusia ada yang tidak percaya dengan tulisanku ini, bahkan kalau ada yang tidak percaya bahwa cicak bisa mengerti bahasa manusia, percayalah.

Aku harap tulisanku ini bisa membuka pikiran manusia-manusia yang jijik kepada spesies kami. Karena jujur saja, kalian manusia tidak perlu jijik kalau bertemu kami. Kami para cicak, justru yang kabur apabila bertemu kalian para manusia. Kami malu bertemu kalian, karena spesies kami masih belum menemukan bagaimana caranya membuat baju untuk menutupi tubuh kami, layaknya kalian para manusia.

Mungkin, entah di generasi keberapa dari klan kami atau klan-klan lain yang masih satu spesies dengan kami, cicak, suatu saat bisa menemukan cara untuk membuat baju. Ketika saat itu tiba, aku harap, spesies cicak dan spesies manusia bisa lebih berkomunikasi, karena sebenarnya beberapa dari kami mengerti bahasa manusia.

Terakhir, kalau memungkinkan, tulisan ini juga sampaikan pada Ayana. Pesankan pada dia, untuk tetap semangat, dan percaya bahwa banyak manusia yang sayang kepadanya, bahkan aku pun juga salah satu fansnya.

Cukup sekian, para manusia. Terima kasih sudah membaca. Kalau sempat, mampirlah ke teritori keluargaku di lantai empat mall FX Sudirman. Mungkin kalian tidak akan menemukan generasi cicak dari keturunanku (karena aku memutuskan untuk tidak berpasangan), tapi akan ada generasi-generasi dari keturunan saudara-saudaraku. Tempat tinggal keluargaku mudah ditemukan, salah satu sudut ruang di lantai empat yang memiliki tulisan "JKT48 Theater" di pintu masuknya.

Sekali lagi, terima kasih, para manusia yang baik hati.

Salam,

Citer

(author: @PradanaAnandya)