Matanya masih memandang ke arah langit malam. Peluhnya masih belum kering akibat latihan tari yang baru saja dijalani. Celana training panjangnya pun belum dia turunkan lipatan kakinya.
Kinal namanya. Dan disini, di teras depan sanggar tari tempatnya dan teman-teman JKT48 nya berlatih, adalah spot favoritnya menghabiskan waktu beristirahat sehabis latihan. Biasanya bersama Ve, sahabatnya. Tapi kali ini sendiri.
Entah apa yang sedang dipikirkannya, tapi langit malam yang sebenarnya sedikit mendung dan bulan sedang dalam fase bulan baru itu, sepertinya telah menarik kesadaran dan fantasi Kinal melayang menjelajahi kegelapannya. Bahkan nyamuk yang ramai berteriak di telinganya saja tidak mampu mengalihkan perhatiannya.
Teman lainnya saat ini masih sibuk berlatih blocking dance mereka masing-masing, termasuk Ve. Hanya Kinal dan Akicha yang sudah menyelesaikan latihan karena memang sudah menguasai detil blocking dance mereka.
Akicha saat ini tengah sibuk dengan teleponnya-yang Kinal tidak tahu apa isi pembicaraannya karena berbahasa jepang, ditambah lagi Kinal memang belum terlalu akrab dengan Akicha, membuat Kinal lebih memilih untuk beristirahat sendiri di teras luar.
Kakinya tidak bisa diam mendengar suara musik yang masih mengalun dari dalam sanggar. Lagu River ini memang salah satu favorit Kinal. Meski saat ini pahanya masih terasa sakit akibat latihan yang terlalu bersemangat tadi.
"Seberapa besar sih kita sekarang?" pertanyaan itu terus menerus menggaung di benak Kinal. Benak seorang kapten yang memiliki beban kewajiban membawa teman-temannya menjadi lebih besar lagi.
Mencoba membandingkan dengan sedikit bintang di langit malam itu.
"Bintang.. Sekeras apapun dia coba untuk bersinar, dia tetap terlihat kecil.." kini telunjuk Kinal seakan juga ikut melayang, menunjuk kearah bintang paling terang yang bisa dia lihat malam itu.
Dia masih bergumam dengan dirinya sendiri, ketika tanpa sadar, musik River dari dalam sanggar sudah berhenti. Pertanda member lain, teman-temannya yang lain memasuki waktu istirahat untuk malam itu.
"Kasihan kau, bintang..." gumam Kinal sembari telunjuk dan jempolnya berdekatan, seakan ingin mencubit bintang yang jadi lawan bicaranya barusan.
"Kau tahu Nal, cahaya bintang yang kau lihat sekarang, bisa jadi itu adalah cahayanya lebih dari 100juta tahun yang lalu."
Kinal hanya tersenyum melihat Ve yang tiba-tiba sudah berdiri disampingnya dengan kepala mendongak keatas, berusaha untuk melihat kearah bintang. Itu hobinya. Hobi itu yang kini juga sedang ingin ditiru oleh Kinal.
"Iya tahu. Alam semesta ini kan luas sekali." tanggap Kinal.
"...dan akan terus bertambah luas." tambah Ve lalu duduk memeluk lutut disebelah Kinal.
"Hey Ve, kita ini sudah sebesar apa sih? Sudah pernah ke jepang, apa itu sudah pantas membuat kita berpredikat 'bintang'?"
"Aku nggak tahu sih, tapi yang aku tahu, kita akan berjuang menjadi sebesar apapun yang kita bisa." jawab Ve.
"Bisa? Memangnya kita disini sampai berapa lama? Nggak mungkin untuk selamanya kan?"
Suasana seketika berubah kelam akibat pertanyaan Kinal barusan.
Ve pun memilih untuk menjawabnya dengan cara diam. Bertambah sendu ketika samar-samar terdengar lagu Anata Ga Ite Kureta Kara milik AKB48, yang tidak tahu berasal dari playlist ponsel milik siapa.
"Ve, aku barusan menemukan kata-kata bagus." Kinal yang jengah dengan keheningan yang tercipta, berusaha untuk menaikkan mood lagi diantara mereka berdua.
"Apa itu?"
Berlagak seorang filsuf, sambil membusungkan dada sedikit, Kinal berucap "Sekeras apapun sebuah bintang berusaha bersinar, dia akan selalu terlihat kecil". Lalu tersenyum.
Ve ikut tersenyum, setengah tertawa mendengar sang filsuf Kinal berusaha membuat kata mutiara versinya sendiri.
"Ya ya, bagus sih. Tapi itu benar lho Nal, sejauh apapun sesuatu berusaha terlihat bagus, akan selalu ada yang lebih bagus lagi."
"Lah, kalau begitu sia-sia dong orang yang berusaha terlihat bagus?"
"Ya! Contohnya kau yang berlagak jadi filsuf barusan! Hahaha." jawab Ve menyindir gaya filsuf yang diperagakan Kinal tadi.
Mereka berdua tertawa. Tidak seheboh tertawanya duo Sendy-Rica, tapi tertawa yang dalam sekali. Tertawa yang hingga paru-paru sesak kehabisan oksigen. Tertawa yang paling menyenangkan di dunia ini, menertawakan diri sendiri.
Keduanya sama-sama berhenti ketika mata mereka kembali tertambat pada langit malam.
"Ve, kenapa ya langit malam masih gelap, padahal banyak banget bintang yang bersinar sekuat tenaga."
"Ya yang aku tahu sih, sebenernya bintang dan semua yang ada di angkasa itu kan saling menjauh. Luar angkasa kan masih terus mengembang. Karena kecepatan mengembangnya itu melebihi kecepatan cahaya, cahaya dari setiap bintang itu berubah jadi inframerah. Makanya mata kita nggak bisa lihat cahayanya. Luar angkasa kalau dilihat dari teleskop infrared, sebenernya terang dan berwarna warni lho."
Kinal tidak heran dengan jawaban yang diberikan Ve. Sudah biasa. Kinal sudah terbiasa mendengar kalimat-kalimat ilmiah dari Ve. Itu yang membuatnya betah bersahabat dengannya.
"Yah si neng mah, malah dijawab pakai teori pelajaran." canda Kinal sambil memukul pelan bahu sahabatnya itu.
"...maksudku, bukannya bintang-bintang itu sia-sia saja berusaha untuk bersinar kalau ternyata tidak semua orang bisa lihat sinarnya?" ucap Kinal beretorika.
"Oh! Aku paham maksudmu.. Maksudmu kita kan? Mereka semua? Kita semua?" telunjuk Ve menyapu kearah setiap member yang bisa dia lihat. "...ya kita kan nggak bisa menyenangkan semua orang, Nal." tambah Ve.
"Puaskan dan pertahankan saja dulu setiap mata yang sudah tertuju ke kita selama ini. Iya kan?" jawab Kinal lalu menegakkan duduknya. Menepuk mati satu nyamuk di pergelangan kakinya.
Ve tidak menjawab, hanya tersenyum mendengar ucapan Kinal. Sedikit mengangguk sebagai tanda persetujuan.
"Dan ini juga. Kapten. Awalnya menyenangkan menyandang status ini. Tapi lama-lama kok susah ya? Kayak ada beban yang berat banget." keluh Kinal.
Ve yang biasa melihat Kinal yang penuh semangat, sedikit kaget mendengar keluhannya kali ini. Sedikit kaget, tapi tidak protes. Karena manusiawi sekali sebenarnya, merasa terbebani dengan tanggung jawab.
Tapi Ve juga lega, Kinal masih bisa bersikap dewasa menghadapi beban itu. Kalaupun kadang kala mengeluh, seperti saat ini, Kinal mengeluh pada orang yang tepat dan dengan cara yang amat elegan.
"Tenang, kita nurut kok, kapten. Kita semua sudah setuju dan dukung apapun yang kau lakukan sebagai kapten disini.. Asal yang baik baik aja lho." Ve coba menaikkan lagi kepercayaan diri Kinal.
Tidak sia-sia, karena Kinal terlihat lebih rileks mendengar jawaban yang dipilih Ve barusan.
"Nal! Kak Ve! Ayo sini, Kak Gicha sudah nyuruh masuk tuh!"
Teriakan Stella dari dalam sanggar seakan mengembalikan Kinal dan Ve menapak tanah lagi, dan sadar dari segala pembicaraan barusan. Sama tersenyumnya, mereka berdua saling bantu untuk berdiri dan dengan semangat berjalan masuk ke sanggar.
"Yah, yang penting kita coba dulu aja. Jangan pikirkan yang aneh-aneh." ujar Ve sebelum masuk ke dalam sanggar.
"Haha, semangat! Meski nggak bisa dilihat semua orang, bintang-bintang itu masih terlihat indah untuk sebagian orang kan?" Kinal mendorong tubuh Ve untuk berjalan didepannya, menyusul Stella.
"Kalian berdua ngapain sih?" tanya Stella penasaran.
"Nanti kita ceritain Stel. Sekarang latihan dulu. Oh ya, Bima Satria Garuda, jadi?"
"Jadi Nal. Nggak kebayang nanti jadi sesibuk apa, tapi aku putusin untuk terima tawaran itu. Kapan lagi kan?"
"Ya udah sih, yang penting kan dijalani aja dulu, Nal, Stel." sela Ve.
"Hey ayo cewe-cewe rempong, cepet masuk sini. Latihan lagi!"
Teguran dari sensei Gicha membuat mereka bertiga buru-buru masuk dan memulai lagi latihannya. Memulai lagi menyusun keping-keping mimpi mereka. Keping-keping yang nantinya entah akan berwujud apa hasilnya. Keping-keping yang terus berusaha disusun oleh mereka. Oleh ke-24 member ditempat itu
Kinal namanya. Dan disini, di teras depan sanggar tari tempatnya dan teman-teman JKT48 nya berlatih, adalah spot favoritnya menghabiskan waktu beristirahat sehabis latihan. Biasanya bersama Ve, sahabatnya. Tapi kali ini sendiri.
Entah apa yang sedang dipikirkannya, tapi langit malam yang sebenarnya sedikit mendung dan bulan sedang dalam fase bulan baru itu, sepertinya telah menarik kesadaran dan fantasi Kinal melayang menjelajahi kegelapannya. Bahkan nyamuk yang ramai berteriak di telinganya saja tidak mampu mengalihkan perhatiannya.
Teman lainnya saat ini masih sibuk berlatih blocking dance mereka masing-masing, termasuk Ve. Hanya Kinal dan Akicha yang sudah menyelesaikan latihan karena memang sudah menguasai detil blocking dance mereka.
Akicha saat ini tengah sibuk dengan teleponnya-yang Kinal tidak tahu apa isi pembicaraannya karena berbahasa jepang, ditambah lagi Kinal memang belum terlalu akrab dengan Akicha, membuat Kinal lebih memilih untuk beristirahat sendiri di teras luar.
Kakinya tidak bisa diam mendengar suara musik yang masih mengalun dari dalam sanggar. Lagu River ini memang salah satu favorit Kinal. Meski saat ini pahanya masih terasa sakit akibat latihan yang terlalu bersemangat tadi.
"Seberapa besar sih kita sekarang?" pertanyaan itu terus menerus menggaung di benak Kinal. Benak seorang kapten yang memiliki beban kewajiban membawa teman-temannya menjadi lebih besar lagi.
Mencoba membandingkan dengan sedikit bintang di langit malam itu.
"Bintang.. Sekeras apapun dia coba untuk bersinar, dia tetap terlihat kecil.." kini telunjuk Kinal seakan juga ikut melayang, menunjuk kearah bintang paling terang yang bisa dia lihat malam itu.
Dia masih bergumam dengan dirinya sendiri, ketika tanpa sadar, musik River dari dalam sanggar sudah berhenti. Pertanda member lain, teman-temannya yang lain memasuki waktu istirahat untuk malam itu.
"Kasihan kau, bintang..." gumam Kinal sembari telunjuk dan jempolnya berdekatan, seakan ingin mencubit bintang yang jadi lawan bicaranya barusan.
"Kau tahu Nal, cahaya bintang yang kau lihat sekarang, bisa jadi itu adalah cahayanya lebih dari 100juta tahun yang lalu."
Kinal hanya tersenyum melihat Ve yang tiba-tiba sudah berdiri disampingnya dengan kepala mendongak keatas, berusaha untuk melihat kearah bintang. Itu hobinya. Hobi itu yang kini juga sedang ingin ditiru oleh Kinal.
"Iya tahu. Alam semesta ini kan luas sekali." tanggap Kinal.
"...dan akan terus bertambah luas." tambah Ve lalu duduk memeluk lutut disebelah Kinal.
"Hey Ve, kita ini sudah sebesar apa sih? Sudah pernah ke jepang, apa itu sudah pantas membuat kita berpredikat 'bintang'?"
"Aku nggak tahu sih, tapi yang aku tahu, kita akan berjuang menjadi sebesar apapun yang kita bisa." jawab Ve.
"Bisa? Memangnya kita disini sampai berapa lama? Nggak mungkin untuk selamanya kan?"
Suasana seketika berubah kelam akibat pertanyaan Kinal barusan.
Ve pun memilih untuk menjawabnya dengan cara diam. Bertambah sendu ketika samar-samar terdengar lagu Anata Ga Ite Kureta Kara milik AKB48, yang tidak tahu berasal dari playlist ponsel milik siapa.
"Ve, aku barusan menemukan kata-kata bagus." Kinal yang jengah dengan keheningan yang tercipta, berusaha untuk menaikkan mood lagi diantara mereka berdua.
"Apa itu?"
Berlagak seorang filsuf, sambil membusungkan dada sedikit, Kinal berucap "Sekeras apapun sebuah bintang berusaha bersinar, dia akan selalu terlihat kecil". Lalu tersenyum.
Ve ikut tersenyum, setengah tertawa mendengar sang filsuf Kinal berusaha membuat kata mutiara versinya sendiri.
"Ya ya, bagus sih. Tapi itu benar lho Nal, sejauh apapun sesuatu berusaha terlihat bagus, akan selalu ada yang lebih bagus lagi."
"Lah, kalau begitu sia-sia dong orang yang berusaha terlihat bagus?"
"Ya! Contohnya kau yang berlagak jadi filsuf barusan! Hahaha." jawab Ve menyindir gaya filsuf yang diperagakan Kinal tadi.
Mereka berdua tertawa. Tidak seheboh tertawanya duo Sendy-Rica, tapi tertawa yang dalam sekali. Tertawa yang hingga paru-paru sesak kehabisan oksigen. Tertawa yang paling menyenangkan di dunia ini, menertawakan diri sendiri.
Keduanya sama-sama berhenti ketika mata mereka kembali tertambat pada langit malam.
"Ve, kenapa ya langit malam masih gelap, padahal banyak banget bintang yang bersinar sekuat tenaga."
"Ya yang aku tahu sih, sebenernya bintang dan semua yang ada di angkasa itu kan saling menjauh. Luar angkasa kan masih terus mengembang. Karena kecepatan mengembangnya itu melebihi kecepatan cahaya, cahaya dari setiap bintang itu berubah jadi inframerah. Makanya mata kita nggak bisa lihat cahayanya. Luar angkasa kalau dilihat dari teleskop infrared, sebenernya terang dan berwarna warni lho."
Kinal tidak heran dengan jawaban yang diberikan Ve. Sudah biasa. Kinal sudah terbiasa mendengar kalimat-kalimat ilmiah dari Ve. Itu yang membuatnya betah bersahabat dengannya.
"Yah si neng mah, malah dijawab pakai teori pelajaran." canda Kinal sambil memukul pelan bahu sahabatnya itu.
"...maksudku, bukannya bintang-bintang itu sia-sia saja berusaha untuk bersinar kalau ternyata tidak semua orang bisa lihat sinarnya?" ucap Kinal beretorika.
"Oh! Aku paham maksudmu.. Maksudmu kita kan? Mereka semua? Kita semua?" telunjuk Ve menyapu kearah setiap member yang bisa dia lihat. "...ya kita kan nggak bisa menyenangkan semua orang, Nal." tambah Ve.
"Puaskan dan pertahankan saja dulu setiap mata yang sudah tertuju ke kita selama ini. Iya kan?" jawab Kinal lalu menegakkan duduknya. Menepuk mati satu nyamuk di pergelangan kakinya.
Ve tidak menjawab, hanya tersenyum mendengar ucapan Kinal. Sedikit mengangguk sebagai tanda persetujuan.
"Dan ini juga. Kapten. Awalnya menyenangkan menyandang status ini. Tapi lama-lama kok susah ya? Kayak ada beban yang berat banget." keluh Kinal.
Ve yang biasa melihat Kinal yang penuh semangat, sedikit kaget mendengar keluhannya kali ini. Sedikit kaget, tapi tidak protes. Karena manusiawi sekali sebenarnya, merasa terbebani dengan tanggung jawab.
Tapi Ve juga lega, Kinal masih bisa bersikap dewasa menghadapi beban itu. Kalaupun kadang kala mengeluh, seperti saat ini, Kinal mengeluh pada orang yang tepat dan dengan cara yang amat elegan.
"Tenang, kita nurut kok, kapten. Kita semua sudah setuju dan dukung apapun yang kau lakukan sebagai kapten disini.. Asal yang baik baik aja lho." Ve coba menaikkan lagi kepercayaan diri Kinal.
Tidak sia-sia, karena Kinal terlihat lebih rileks mendengar jawaban yang dipilih Ve barusan.
"Nal! Kak Ve! Ayo sini, Kak Gicha sudah nyuruh masuk tuh!"
Teriakan Stella dari dalam sanggar seakan mengembalikan Kinal dan Ve menapak tanah lagi, dan sadar dari segala pembicaraan barusan. Sama tersenyumnya, mereka berdua saling bantu untuk berdiri dan dengan semangat berjalan masuk ke sanggar.
"Yah, yang penting kita coba dulu aja. Jangan pikirkan yang aneh-aneh." ujar Ve sebelum masuk ke dalam sanggar.
"Haha, semangat! Meski nggak bisa dilihat semua orang, bintang-bintang itu masih terlihat indah untuk sebagian orang kan?" Kinal mendorong tubuh Ve untuk berjalan didepannya, menyusul Stella.
"Kalian berdua ngapain sih?" tanya Stella penasaran.
"Nanti kita ceritain Stel. Sekarang latihan dulu. Oh ya, Bima Satria Garuda, jadi?"
"Jadi Nal. Nggak kebayang nanti jadi sesibuk apa, tapi aku putusin untuk terima tawaran itu. Kapan lagi kan?"
"Ya udah sih, yang penting kan dijalani aja dulu, Nal, Stel." sela Ve.
"Hey ayo cewe-cewe rempong, cepet masuk sini. Latihan lagi!"
Teguran dari sensei Gicha membuat mereka bertiga buru-buru masuk dan memulai lagi latihannya. Memulai lagi menyusun keping-keping mimpi mereka. Keping-keping yang nantinya entah akan berwujud apa hasilnya. Keping-keping yang terus berusaha disusun oleh mereka. Oleh ke-24 member ditempat itu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar