Selasa, 03 Desember 2013

Design For Life (fanfict inspired by @VeJKT48)



Cewek itu masih disana dengan buku bacaannya, meski dia tahu pikirannya sudah tidak lagi di buku yg tengah dihadapinya sejak cowok itu duduk dua bangku didepannya, dan bersenda gurau dengan dua kawannya.

Cowok itu tersenyum ketika salah satu dari dua kawannya melontarkan canda, meski dia juga tahu senyumnya bukan karena itu tapi lebih disebabkan oleh aroma parfum mahal yg dikenakan oleh cewek stylish namun pemalu yg duduk dua bangku dibelakangnya.

Mereka berdua sama penasaran dan ingin berkenalan, tapi sama gengsi untuk menjadi yg pertama mengambil tindakan.
Cewek itu dengan bukunya dan beberapa pandangan sinis-mungkin iri-dari beberapa sesama jenisnya di kelas itu, dan cowok itu yg berada di tengah dua kawan kanan-kirinya yg cerewet tapi kalah jauh pesonanya. Keduanya terlihat gelisah.

Padahal sudah hari ketiga, umur dari kelas yg mereka berdua tempati, tapi diantara mereka masih saling belum berbicara. Yg cewek, fashionable tapi terlihat berkawan akrab dengan buku-buku filosofi, sehingga membuat keder. Yg cowok, rupawan, tapi terlalu diam dan misterius untuk menanggapi guyonan mahasiswa yg sering dilontarkan dua kawan setia yg selalu bersamanya.

Sama-sama bertemu di kelas desain grafis, mimpi cewek dan cowok itu sama, ingin menggores sebanyak mungkin kertas dengan imajinasi mereka. Hanya bedanya, cewek itu pesohor. Sedangkan cowok itu anak tukang bor.

Ya, pesohor, artis. Performer. Calon desainer. Embel-embel yg melekat di atas kepala cewek itu. Sedangkan, pemimpi besar, dan bertampang rupawan, tapi anak tukang bor, adalah biodata yg tertera di setiap otak orang yg mengenal cowok itu.

"Aku berteman dengan siapa saja kok," sambil matanya yg berkacamata itu melihat kearah tiga tumpukan buku yg masing-masingnya bertulis nama William Ockham, Francis Bacon, dan Thomas Hobbes. Yg membuat siapapun keder berteman dengan si pesohor.

Cowok itu pun juga begitu, sepertinya dia juga salah telah menanyakan apakah cewek itu mau berteman dengannya. 

Artis. Berteman-imaji dengan nama-nama yg bahkan dia tidak tahu wajahnya. Bacon, Hobbes, Ockham.
Tersenyum simpul, si cowok perlahan menjauhi si cewek setelah untuk pertama kalinya di kelas itu mereka berbicara bertatap muka.

"Tunggu! Kenapa?" Ucap si cewek getir.

"Tidak apa, aku lihat matamu masih tertuju pada tumpukan buku itu. Mungkin aku yg mengganggu waktu membacamu." Jawab si cowok, tak kalah getir.

"Aku tidak terlalu memiliki teman disini. Tidak bisakah kau berbicara denganku sedikit lebih lama?" keluh si cewek. Tapi kalimat itu hanya keluar dari sorot matanya, bukan mulutnya yg kini hanya tersenyum kecil. Si cowok menjauh lagi untuk hari itu. Entah berapa hari lagi mereka akan berbicara seperti tadi.

Sudah satu lembar kalender, dari dua belas lembar, berganti di kelas itu. Kelas itu juga seolah sudah menampakkan jati diri aslinya yg ternyata adalah 'ruang penyiksaan' bagi siapapun yg duduk dibangkunya. Beberapa mahasiswa gugur sakit akibat terlalu sering dan belum terbiasa terjaga sepanjang malam. Tapi anomali bagi si pesohor dan si anak tukang bor. 'Ruang penyiksaan' ini layaknya panggung pentas bagi mereka berdua.

Desain mereka dipuji. Tugas mereka rapi. Waktu tidur mereka tidak rugi. Si anak tukang bor senang, si pesohor lebih lebih lagi.

Sudah menjadi kekaguman bersama di kelas itu, si pesohor yg sering mengajukan izin absen, yg selalu latihan malam sepulang kuliah, masih bisa menjadi bintang. Sama halnya dengan si anak tukang bor. Anak tukang bor yg tidak memiliki laptop, yg pallet warnanya sudah bengkong karena tidak pernah ganti, yg sebagian besar crayon nya sudah tinggal separuh batang, yg kertasnya selalu terlihat paling murah diantara sekelas, terangnya tidak kalah dibanding si pesohor.

Pernah suatu waktu si pesohor mencoba untuk membuka percakapan dengan si anak tukang bor. Percakapan yg hanya berumur 1 menit. Karena si pesohor tidak tahan dengan tatapan risih dari cewek lain dikelas ini yg iri dengannya berbicara kepada si anak tukang bor nan rupawan.

Keduanya pernah disatukan dalam sebuah diskusi yg membahas kehidupan. 'Life'. Bukan membahas yg macam-macam, hanya untuk tugas desain mereka. Tapi mereka berdua tahu, cakupan sebatas tugas kuliah tidak akan cukup menampung letupan-letupan gagasan mereka berdua tentang 'life'. Kadang meninggalkan teman-teman se-tugas mereka demi bisa lebih bertukar pikiran.

Meski begitu, si pesohor masih ragu untuk sekedar bertanya nama atau memberitahukan namanya kepada si anak tukang bor. Sudah sebulan lebih mereka berdua saling sapa, kadang saling bicara, tanpa tahu siapa namanya.

Pagi yang biasa di hari yang biasa pada kelas yang biasa mereka bertemu. Kali ini sedikit tidak biasa karena Tuhan berkehendak lewat perantara bernama 'kebetulan', mempertemukan si pesohor dan si anak tukang bor itu. Kelas sudah hampir penuh dan hanya menyisakan satu kursi bagi si pesohor yang telat karena kesibukannya. Satu kursi tepat disamping si anak tukang bor.

"Sedang sibuk kerjanya?" tanya si anak tukang bor berbasa-basi pengecut. Frasa 'basa-basi pengecut' mungkin jika dinyatakan dalam ilustrasi, adalah ketika kau berbicara pada seseorang tanpa berani menatap matanya.

"Iya. Kemarin sampai malam, ada show." Jawab si pesohor yang juga tidak kalah pengecutnya.

Mereka berdua sama-sama pengecut, tapi entah kenapa di benak masing-masing, ke-pengecut-an itu terlihat sangat gentle dan imut.

"Tugas?"

"Ah iya, sudah selesai. Sehabis show aku langsung mengerjakannya."

"Tidak capek? Seharusnya istirahat saja, toh pihak kampus juga sudah tahu dan maklum."

"Tidak bisa begitu. Aku yang tidak mau kalau diperlakukan berbeda dengan mahasiswa lainnya."

Jawaban dari si pesohor itu tak pelak mengundang senyum kagum di mulut si anak tukang bor. Dia lega, wanita bak cleopatra yang duduk disebelahnya saat ini tidaklah jauh dari dimensi kehidupannya. Si pesohor itu masih manusia biasa. Atau lebih tepatnya manusia luar biasa karena keinginannya menjadi manusia biasa walaupun dia berstatus pesohor.

Sepanjang hari itu mereka berdua duduk bersebelahan. Sebenarnya sudah banyak kursi lain yang sudah kosong, tapi alasan ingin dekat pendingin ruangan, membuat si pesohor tidak ingin beranjak dari sebelah si anak tukang bor. Alasan minor yang diungkapkan untuk menutupi alasan major.

Tapi tetap saja, tidak ada step yang berkembang dari sana meskipun mereka berdua ingin berkenalan lebih jauh. Mungkin seperti yang dikatakan salah satu penulis, ketika si terlalu kaya bertemu dengan si terlalu miskin ada titik kritis yang menyebabkan keduanya menjadi krisis apresiasi. Atau mungkin juga ini tidak terlalu serumit itu.

"Kau tahu mereka ini?" tanya si pesohor disuatu sela mata kuliah. Mata dan tangannya mengarah ke tumpukan buku yang dia bawa. Bacon, Hobbes, Ockham.

Namamu saja aku masih belum tahu, bagaimana aku bisa tahu mereka siapa? Si anak tukang bor ingin sekali menjawabnya dengan kalimat itu, meski yang keluar dari mulutnya berupa kalimat, "Kalau Bacon yang tertulis disitu bukan merupakan daging asap, berarti aku tidak tahu siapa mereka itu."

"Hahaha... Oh, bukan bukan, ini Bacon, Francis Bacon. Filsuf. Bukan bacon daging asap." Si pesohor tertawa renyah mendengar celetukan yang disampaikan oleh si anak tukang bor. Serenyah kerupuk rempeyek pada nasi pecel menu sarapan si anak bor itu tadi pagi.

Si pesohor sudah mulai terbiasa tidak menghiraukan tatapan-tatapan iri dari seluruh cewek di kelas kala dia berbincang akrab dengan si anak tukang bor, cowok paling menjadi pusat perhatian di kelas. Yang ada dipikiran si pesohor adalah, dia ingin sekali mempunyai teman di kelas itu. Dan pilihannya jatuh pada si anak tukang bor. Satu-satunya cowok yang berani mendekatinya disaat tiga "bodyguard" nya, Bacon, Ockham, dan Hobbes, dengan seramnya membuat keder siapapun yang ingin mendekati si pesohor.

"Aku tidak terlalu mengikuti filosofi dan filsuf. Aku tidak paham."

"Oh, kalau begitu, apa yang kamu suka? Buku apa yang sedang kamu baca?"

Perubahan sikap ditunjukkan oleh si pesohor. Dan pemilihan kata "kamu" untuk menggantikan kata "kau" sebagai panggilan untuk orang kedua, tampaknya berbuah dengan mencairnya kekakuan diantara mereka berdua.

"Aku..tidak terlalu sering membaca buku. Mana cukup uangku untuk membeli buku? Kamu tahu kan, aku harus bertahan hidup di kota ini sebagai anak tukang bor, dan itu tidak gampang," jawab si anak tukang bor dengan berusaha tidak menampakkan kegetiran di tiap nada suaranya.

Kembali, kekakuan yang sebelumnya hilang kini muncul lagi. Si pesohor merasa terlalu bodoh untuk bertanya seperti tadi, dan si anak tukang bor menyesal telah memutus bahan pembicaraan dengan cara yang sama sekali tidak elegan barusan.

Dan berakhirlah 'kebetulan' di hari itu.


                                 ***
 
"Pagi."

"Pagi juga."

Saling sapa diantara mereka terdengar janggal, karena tanpa menyebutkan nama masing-masing. Keduanya masih terlalu pengecut untuk saling mengenal lebih jauh.

Dan hanya itu percakapan yang terjadi untuk setengah hari itu. Sampai ketika dosen desain grafis mereka mengumumkan akan diadakan lomba desain tingkat nasional yang diadakan di kampus mereka sebulan dari sekarang.

Lomba itu khusus untuk mahasiswa jurusan desain grafis. Berformat team, satu team berisi dua orang. Mengangkat tema 'Life'.

Bak terpicu oleh remote control yang berfrekuensi sinyal yang sama, keduanya, si pesohor dan si anak tukang bor saling menatap kearah masing-masing. Ini kesempatan bagi keduanya.

Dan juga sepertinya dosen mereka terpicu oleh remote control yang sama, ketika tiba-tiba dosen itu berkata, "Akan sangat seru kalau dua orang terbaik di kelas ini bergabung jadi satu team." Jelas sekali dosen itu merujuk pada si pesohor dan anak tukang bor itu.

"Kamu mau jadi teamku untuk event itu?" tanya si anak tukang bor duluan ketika kelas sudah selesai.

Kau tidak perlu tanya itu bodoh, justru aku yang ingin jadi teammu! Si pesohor hanya menjawabnya dengan anggukan.

"Tapi, mungkin kita tidak bisa terlalu sering untuk brainstorming bersama. Aku ada pekerjaan."

"Oh, aku sepenuhnya paham akan hal itu. Tenang saja, itu sudah masuk dalam daftar kemungkinan resiko yang akan aku hadapi begitu aku mengajakmu dalam event ini."

Perasaan si pesohor sedikit tersinggung tapi bisa menangkap maksud dari kata-kata dari si anak tukang bor.

"Bagaimana menurutmu? Tema event ini?"

"Menarik. Dan luas." jawab si pesohor antusias.

Mereka berdua sama-sama antusias. Sedikit untuk event yang akan mereka ikuti ini, lebih massive untuk antusiasme akan waktu-waktu yang bakal mereka habiskan bersama. Berdua.

                               ***

"Mungkin, bisa seperti ini..." si anak tukang bor menatap secarik kertas gambar A4 di meja. Kertas gambar ketiga yang sudah ternoda oleh ide-ide si anak tukang bor.

Pada kertas itu tergambar sebuah pohon. Rindang. Tapi berdaun wajah manusia dalam berbagai ekspresi. Kertas lainnya malah lebih unik, ada awan dengan berbagai macam karakter yang menemani awan itu, yang satu lagi kertas bergambar lebih abstrak. Beberapa kertas kecil bergambar seperti mural dan grafiti yang sering kita jumpai di kolong-kolong jembatan, namun dalam skala kualitas yang jauh lebih bagus, terlihat berceceran hingga ke lantai dekat tempatnya duduk.

Si anak tukang bor memang terkenal sebagai sosok kreatif. Desain dan goresan pensilnya selalu menarik perhatian orang, walaupun sering kali orang yang tertarik tadi tidak paham apa yang dimaksud oleh gambar itu.

Sementara dua sahabat cowok dari si anak tukang bor itu berada di sampingnya. Memberikan ide semampu mereka. Ide yang sia-sia sebenarnya, karena level ide yang keluar dari mereka berdua jauh dibawah alam kreativitas sang anak tukang bor.

Si pesohor, hari ini tidak masuk kelas. Ada perform di tv, begitu bunyi surat izin yang tadi pagi dibacakan oleh dosen.

"Kau sudah menemukan idenya?" tanya salah seorang sahabat si anak tukang bor itu.

"Belum. Hanya sebatas ini. Aku tidak begitu tahu 'Life' seperti apa yang diinginkan. 'Life' dalam ingatan dan pengalamanku adalah yang jelek, tidak indah. Mungkin nanti aku akan minta pendapat dia, aku yakin artis itu sudah pernah melihat 'Life' yang indah-indah."

"Jadi, kau belum tahu namanya? Dia terkenal sekali, dia salah satu personil JKT48 itu kan? Namanya adalah Je..."

"Ah! Simpan itu untuk nanti, kawan! Biar aku sendiri saja yang bertanya langsung padanya. Seseorang spesial harus di-treatment secara spesial juga, benar kan? Biar saja begini dulu, aku masih menikmati berbicara dengannya seperti ini."

"Haha, aku tidak pernah mengerti jalan pikiranmu itu. Waktu dosen mengabsen kelas juga kau lebih memilih untuk memasang earphone-mu itu begitu namamu selesai dipanggil. Apa itu juga karena kau tidak ingin mendengar nama dari gadis itu?"

"Yup! Sekarang mari kita sudahi saja membicarakannya. Aku takut dia bersin-bersin disana karena kita membicarakannya seperti ini."

"Hahaha, sekali lagi keluar kata-kata yang tidak ilmiah dari mulutmu, kawan."

"Hidup jangan terlalu dibuat ilmiah. Kita bukan robot. Kita diciptakan bukan untuk menuruti perintah, tapi menjalankan kewajiban."

Dua sahabat si anak tukang bor itu hanya tersenyum dan memilih untuk tidak melanjutkannya lagi. Mereka sangat senang mempunyai teman seperti si anak tukang bor itu.

                              ***

Dengan kemarin, total sudah tiga hari si pesohor tidak mengikuti kelas.
Tapi hari ini, dia nampak terlihat di tempat duduknya yang biasa. Dan dengan tiga "bodyguard" nya yang seperti biasa, bikin keder. Bacon, Ockham, dan Hobbes.

"Setelah kelas, kantin lantai tiga, bisa?"

Si pesohor terkejut dengan ajakan yang tiba-tiba dari si anak tukang bor. Buku Francis Bacon yang sedang dibacanya pun ia tutup namun lupa diberi penanda halaman. Setelah tampak menyesal dengan hilangnya halaman buku yang tengah dibacanya, si pesohor tersenyum manis dan mengangguk mengiyakan ajakan si anak tukang bor.

Lima jam waktu kuliah hari itu terasa seperti lima menit saja bagi si pesohor. Dia tidak terbiasa janjian dengan seseorang, apalagi hanya berdua, apalagi dengan seorang cowok. Meski dia tahu ajakan itu adalah ajakan diskusi untuk event, tetap saja dia tegang. Dikeluarkannya dari dalam tasnya satu lagi buku "menyeramkan" dengan genre psikologi Marxist, bertuliskan 'Sigmund Freud' besar. Resmilah "bodyguard" si pesohor itu menjadi empat.

Sore itu di kantin lantai tiga, sepi pengunjung. Ada beberapa pasangan yang memilih kursi pojok, berciuman. Si pesohor yang tiba lebih dulu di kantin itu menjadi semakin tegang dan tertekan. Sementara si anak tukang bor sedang menghadap dosen untuk memberikan rancangan awal desainnya untuk event tersebut.

"Ah, maaf, tadi si ibu dosen sedikit ceramah tentang ini," si anak tukang bor dengan nafas yang terengah-engah melambai-lambaikan kertas gambar A4 nya.

"Mungkin, kita di ground floor saja. Aku tidak nyaman disini," pinta si pesohor sambil menyilangkan tali tas selempangnya ke bahu kirinya.

"Ya, aku juga merasa seperti itu," jawab si anak tukang bor setuju.

"Lalu, apa yang sudah kamu kerjakan? Boleh aku lihat?"

"Silahkan. Bu dosen sudah setuju desain ini yang diajukan ke panitia lomba, tapi aku belum akan menyerahkannya. Setidaknya sampai kamu lihat dan juga menyumbang ide disini."

Si anak tukang bor kemudian menyerahkan tiga kertas gambar yang berada di tangan kanannya itu.
Tidak keluar komentar apapun dari mulut si pesohor.

Si pesohor sedang merasa ada di dunia lain.

Goresan, bentuk desain, permainan warna yang dipilih, dan pemilihan karakter yang dilakukan si anak tukang bor itu seakan masuk ke dalam ranah kreativitas si pesohor. Mereka menyatu. Bermain di angan-angan. Si pesohor bisa melihat emosi-emosi yang ada di kertas itu. Dia sedang berada di amusement park pribadi milik imajinasi si anak tukang bor. Tapi ada sesuatu yang kurang. Kurang kuat. Kurang nendang. Kurang mematikan.

"Ini bagus sekali. Indah. Tapi ada yang kurang. Belum ada sesuatu yang membuat mataku tidak ingin berpaling."

"Nah, disitu aku membutuhkan imajinasi terukurmu. Imajinasiku terlalu liar untuk lomba desain bertema seperti ini."

"Oke, mari kita coba bicara sebentar."

"Mungkin sebaiknya dilanjutkan besok saja. Sudah hampir senja, dan kamu ada latihan 'kan?"

"Aahh, kamu benar!"

Hampir saja si pesohor itu melupakan jadwal latihannya. Setelah berpamitan seperlunya, dan permohonan untuk membawa pulang kertas hasil desain itu, si pesohor menghilang dari pandangan si anak tukang bor bersamaan dengan mobil berwarna hitam elegan yang membawa si pesohor itu pergi.

                             ***

Esoknya, keduanya kembali bertemu di kantin lantai tiga. Tapi kali ini di siang hari, dan tidak ada pasangan mahasiswa yang sedang berciuman disana.

"Kamu tahu, gambar-gambar ini membuatku tidak bisa tidur semalaman!" ujar si pesohor dengan semangat. Dan memang terlihat kedua matanya berkantung hitam kecil dikelopaknya.

"Seharusnya kamu istirahat..."

"Tidak. Tidak. Bukan itu yang ingin aku bicarakan saat ini. Desain ini, dan teori chaos and order bisa digabungkan!"

Si pesohor menunjuk ke kertas pertama, kemudian menunjuk lagi ke kertas kedua. Mengisyaratkan untuk adanya penggabungan desain.

"Teori chaos and order? Apa lagi itu?"

"Duh! Teori kehidupan! Dimana manusia percaya bahwa kehidupan adalah keteraturan, order. Percaya bahwa segala yang terjadi di hidup adalah keteraturan. Tapi lupa bahwa chaos adalah teman bercumbu sang order. Chaos bagai siluman bayangan yang selalu menghantui order. Lupa bahwa tidak ada yang pasti antara order tercipta akibat chaos-chaos yang membentuknya, atau chaos yang akan muncul akibat dunia ini terlalu ekuilibrium, terlalu seimbang, terhadap order."

Si anak tukang bor seakan sedang menyaksikan seorang ahli agama yang sedang mempersuasi dirinya untuk berpindah agama. Dia tidak mengira si pesohor memiliki sisi seperti ini, sisi yang sangat ilmiah.

Kalau disubtitusikan ke teori itu, si anak tukang bor jelaslah sang chaos. Sementara sosok cleopatra salah zaman yang duduk dihadapannya saat ini adalah puan order.

"Itu kalau dimasukkan ke teori chaos dan order. Teori itu bersudut pandang pada 'Life' secara universal. Tapi kata Sigmund Freud..."

Sigmund Freud? Oh tulisan yang ada di buku yang tadi dibacanya, batin si anak tukang bor.

"....hidup itu tidak lebih dari semacam Weltanschauung. Ketakutan. Kita takut, itulah kenapa kita hidup. Adaptasi. Evolusi. Semua adalah weltanschauung. Rasa takut. Semua makhluk mampu beradaptasi karena takut. Berevolusi karena takut. Takut terhadap pemangsa, takut tidak kebagian makanan, takut ditinggal, takut meninggalkan, takut Tuhan, takut tidak diakui, dan semacam itu."

Dan sekarang kau benar-benar membuatku takut..... Kembali batin si anak tukang bor merespon tiap kata yang keluat dari mulut si pesohor.

"Dan untuk Sigmund Freud, desain ini yang cocok." si pesohor menunjuk ke kertas ketiga yang bergambar pohon manusia.

"Aku tidak tahu. Mungkin kita bisa menggabungkan saja semuanya. Sigmund atau siapa itu, dengan order-chaos. Jadikan satu saja." si anak tukang bor coba menanggapi.

"Jangan! Itu malah menjadi tidak kuat. Jangan jadi chaos disini, kita sudah berhasil menyusun skema dari ide-ide kita."

"O-oke ma-am.."

"Ah, aku terlalu banyak omong ya? Maafkan aku!"

Si pesohor menghentikan ceramah teorinya itu untuk sesaat. Kepalanya menunduk malu. Kecantikan ratu cleopatra kalah oleh raut malu si pesohor saat ini.

"Haha, tidak apa. Justru itu yang aku cari. Penguatan-penguatan itu yang aku butuhkan. Yang kita butuhkan. Untung saja aku tidak langsung memberikan desain itu pada bu dosen."

Perbincangan mereka berlanjut hingga hampir malam. Dan mengundang rasa iri dari tiap mata cowok dan cewek lain yang lewat di dekat mereka.

                              ***

"Yap, kira-kira seperti ini."

Si anak tukang bor menunjukkan desain hasil revisi bersama dengan si pesohor itu.

Dan sekali lagi, goresan, desain, warna, dan karakter yang tersaji di kertas itu seakan membuat si pesohor terbius. Orgasme imajinasi. Masih tetap membuat melayang di angan-angan. Masih terlihat emosi yang kaya. Tapi kali ini si pesohor merasa amusement park imajinasinya itu lebih kuat, terasa sentuhan Sigmund Freud, terlihat beberapa idol philosophy milik Francis Bacon.

"Tunggu dulu. Ini jenius. Idol philosophy nya Bacon kenapa ada disini? Benar kan, ini pikirannya Bacon yang kamu campur juga disini? Jenius, hidup memang butuh idolisasi. Butuh seseorang di depan kita yang bisa kita tiru langkah baiknya. Tapi, bukannya kemarin-kemarin kita hanya membahas order-chaos dan Sigmund Freud? Dan aku juga tidak merasa memberitahumu tentang pikiran dan teori milik Bacon, benar kan?" tanya si pesohor keheranan di tengah lamunan imajinasinya ketika memperhatikan kertas desain di hadapannya itu.

Entah untuk suatu alasan tertentu, si anak tukang bor itu tersenyum puas.

"Aku memutuskan untuk mencari tahu. Aku cuma tidak ingin kosakata 'bacon' di otakku hanya berupa daging asap." jawab si anak tukang bor itu percaya diri lalu menunjukkan tumpukan kertas fotokopian yang dijilid jadi satu. Dengan satu tulisan besar yang familiar, Francis Bacon.

Tidak ada kata-kata yang keluar dari keduanya setelah itu. Si pesohor merasa tersanjung dengan kata-kata dan tindakan si anak tukang bor. Satu-satunya orang yang berhasil melampaui "bodyguard" yang sengaja dia pasang.

Muka si pesohor merona merah.

"Jadi... Setelah ini, kita bisa lebih nyambung?" tanya si pesohor ragu-ragu.

"Itulah gunanya aku juga membaca buku ini, meski hanya fotokopian."

Si pesohor tampak malu. Kecantikan yang melampaui ratu cleopatra itu terpancar kembali. Kecantikan yang membuat si anak tukang bor nan rupawan itu tidak tahan lagi untuk bertanya.

"Siapa namamu? Ah, anu, bukan bermaksud sok dekat, hanya kita perlu menuliskan nama kita berdua di kertas desain itu sebelum kita serahkan pada panita lomba 'kan?"

"Iya tidak apa. Namaku Jessica. Jessica Veranda. Kamu bisa panggil apa saja, Jessica atau Ve. Dan...eh, namamu? Biar aku saja yang tulis nama kita dikertas ini," tanya si pesohor itu tidak kalah ragunya.

"Angga Agustian. Orang terdekatku sering memanggilku Angga Balenk."

"Balenk?"

"Ya, sepertinya itu semacam panggilan untuk anak tukang bor di daerahku. Teman-temanku sesama anak tukang bor juga mendapatkan embel-embel Balenk. Icang Balenk, Setiyo Balenk, dan lainnya."

"Hihi. Kamu lucu.."

Tawa geli mereka berdua akhirnya meruntuhkan dinding tebal diantara mereka berdua yang selama ini tercipta. Selaras dengan tangan lentik Jessica yang menuliskan nama mereka di kertas hasil peleburan ide mereka berdua itu. Bukti akan "satu" nya pikiran mereka.

Dan itu awal dari dimulainya sebuah cerita, sebuah romansa, dari sebuah kampus desain. Romansa yang bahkan membuat Romeo dan Juliet iri membacanya.

~END~

Author : @PradanaAnandya

Sabtu, 24 Agustus 2013

Jalani Dulu Aja.. (inspired by @kinaljkt48)

Matanya masih memandang ke arah langit malam. Peluhnya masih belum kering akibat latihan tari yang baru saja dijalani. Celana training panjangnya pun belum dia turunkan lipatan kakinya.

Kinal namanya. Dan disini, di teras depan sanggar tari tempatnya dan teman-teman JKT48 nya berlatih, adalah spot favoritnya menghabiskan waktu beristirahat sehabis latihan. Biasanya bersama Ve, sahabatnya. Tapi kali ini sendiri.

Entah apa yang sedang dipikirkannya, tapi langit malam yang sebenarnya sedikit mendung dan bulan sedang dalam fase bulan baru itu, sepertinya telah menarik kesadaran dan fantasi Kinal melayang menjelajahi kegelapannya. Bahkan nyamuk yang ramai berteriak di telinganya saja tidak mampu mengalihkan perhatiannya.

Teman lainnya saat ini masih sibuk berlatih blocking dance mereka masing-masing, termasuk Ve. Hanya Kinal dan Akicha yang sudah menyelesaikan latihan karena memang sudah menguasai detil blocking dance mereka.

Akicha saat ini tengah sibuk dengan teleponnya-yang Kinal tidak tahu apa isi pembicaraannya karena  berbahasa jepang, ditambah lagi Kinal memang belum terlalu akrab dengan Akicha, membuat Kinal lebih memilih untuk beristirahat sendiri di teras luar.

Kakinya tidak bisa diam mendengar suara musik yang masih mengalun dari dalam sanggar. Lagu River ini memang salah satu favorit Kinal. Meski saat ini pahanya masih terasa sakit akibat latihan yang terlalu bersemangat tadi.

"Seberapa besar sih kita sekarang?" pertanyaan itu terus menerus menggaung di benak Kinal. Benak seorang kapten yang memiliki beban kewajiban membawa teman-temannya menjadi lebih besar lagi.

Mencoba membandingkan dengan sedikit bintang di langit malam itu.

"Bintang.. Sekeras apapun dia coba untuk bersinar, dia tetap terlihat kecil.." kini telunjuk Kinal seakan juga ikut melayang, menunjuk kearah bintang paling terang yang bisa dia lihat malam itu.

Dia masih bergumam dengan dirinya sendiri, ketika tanpa sadar, musik River dari dalam sanggar sudah berhenti. Pertanda member lain, teman-temannya yang lain memasuki waktu istirahat untuk malam itu.

"Kasihan kau, bintang..." gumam Kinal sembari telunjuk dan jempolnya berdekatan, seakan ingin mencubit bintang yang jadi lawan bicaranya barusan.

"Kau tahu Nal, cahaya bintang yang kau lihat sekarang, bisa jadi itu adalah cahayanya lebih dari 100juta tahun yang lalu."
Kinal hanya tersenyum melihat Ve yang tiba-tiba sudah berdiri disampingnya dengan kepala mendongak keatas, berusaha untuk melihat kearah bintang. Itu hobinya. Hobi itu yang kini juga sedang ingin ditiru oleh Kinal.

"Iya tahu. Alam semesta ini kan luas sekali." tanggap Kinal.

"...dan akan terus bertambah luas." tambah Ve lalu duduk memeluk lutut disebelah Kinal.

"Hey Ve, kita ini sudah sebesar apa sih? Sudah pernah ke jepang, apa itu sudah pantas membuat kita berpredikat 'bintang'?"

"Aku nggak tahu sih, tapi yang aku tahu, kita akan berjuang menjadi sebesar apapun yang kita bisa." jawab Ve.

"Bisa? Memangnya kita disini sampai berapa lama? Nggak mungkin untuk selamanya kan?"

Suasana seketika berubah kelam akibat pertanyaan Kinal barusan.

Ve pun memilih untuk menjawabnya dengan cara diam. Bertambah sendu ketika samar-samar terdengar lagu Anata Ga Ite Kureta Kara milik AKB48, yang tidak tahu berasal dari playlist ponsel milik siapa.
"Ve, aku barusan menemukan kata-kata bagus." Kinal yang jengah dengan keheningan yang tercipta, berusaha untuk menaikkan mood lagi diantara mereka berdua.

"Apa itu?"

Berlagak seorang filsuf, sambil membusungkan dada sedikit, Kinal berucap "Sekeras apapun sebuah bintang berusaha bersinar, dia akan selalu terlihat kecil". Lalu tersenyum.

Ve ikut tersenyum, setengah tertawa mendengar sang filsuf Kinal berusaha membuat kata mutiara versinya sendiri.

"Ya ya, bagus sih. Tapi itu benar lho Nal, sejauh apapun sesuatu berusaha terlihat bagus, akan selalu ada yang lebih bagus lagi."

"Lah, kalau begitu sia-sia dong orang yang berusaha terlihat bagus?"

"Ya! Contohnya kau yang berlagak jadi filsuf barusan! Hahaha." jawab Ve menyindir gaya filsuf yang diperagakan Kinal tadi.

Mereka berdua tertawa. Tidak seheboh tertawanya duo Sendy-Rica, tapi tertawa yang dalam sekali. Tertawa yang hingga paru-paru sesak kehabisan oksigen. Tertawa yang paling menyenangkan di dunia ini, menertawakan diri sendiri.

Keduanya sama-sama berhenti ketika mata mereka kembali tertambat pada langit malam.

"Ve, kenapa ya langit malam masih gelap, padahal banyak banget bintang yang bersinar sekuat tenaga."

"Ya yang aku tahu sih, sebenernya bintang dan semua yang ada di angkasa itu kan saling menjauh. Luar angkasa kan masih terus mengembang. Karena kecepatan mengembangnya itu melebihi kecepatan cahaya, cahaya dari setiap bintang itu berubah jadi inframerah. Makanya mata kita nggak bisa lihat cahayanya. Luar angkasa kalau dilihat dari teleskop infrared, sebenernya terang dan berwarna warni lho."

Kinal tidak heran dengan jawaban yang diberikan Ve. Sudah biasa. Kinal sudah terbiasa mendengar kalimat-kalimat ilmiah dari Ve. Itu yang membuatnya betah bersahabat dengannya.

"Yah si neng mah, malah dijawab pakai teori pelajaran." canda Kinal sambil memukul pelan bahu sahabatnya itu.
"...maksudku, bukannya bintang-bintang itu sia-sia saja berusaha untuk bersinar kalau ternyata tidak semua orang bisa lihat sinarnya?" ucap Kinal beretorika.

"Oh! Aku paham maksudmu.. Maksudmu kita kan? Mereka semua? Kita semua?" telunjuk Ve menyapu kearah setiap member yang bisa dia lihat. "...ya kita kan nggak bisa menyenangkan semua orang, Nal." tambah Ve.

"Puaskan dan pertahankan saja dulu setiap mata yang sudah tertuju ke kita selama ini. Iya kan?" jawab Kinal lalu menegakkan duduknya. Menepuk mati satu nyamuk di pergelangan kakinya.

Ve tidak menjawab, hanya tersenyum mendengar ucapan Kinal. Sedikit mengangguk sebagai tanda persetujuan.

"Dan ini juga. Kapten. Awalnya menyenangkan menyandang status ini. Tapi lama-lama kok susah ya? Kayak ada beban yang berat banget." keluh Kinal.

Ve yang biasa melihat Kinal yang penuh semangat, sedikit kaget mendengar keluhannya kali ini. Sedikit kaget, tapi tidak protes. Karena manusiawi sekali sebenarnya, merasa terbebani dengan tanggung jawab.

Tapi Ve juga lega, Kinal masih bisa bersikap dewasa menghadapi beban itu. Kalaupun kadang kala mengeluh, seperti saat ini, Kinal mengeluh pada orang yang tepat dan dengan cara yang amat elegan.

"Tenang, kita nurut kok, kapten. Kita semua sudah setuju dan dukung apapun yang kau lakukan sebagai kapten disini.. Asal yang baik baik aja lho." Ve coba menaikkan lagi kepercayaan diri Kinal.

Tidak sia-sia, karena Kinal terlihat lebih rileks mendengar jawaban yang dipilih Ve barusan.

"Nal! Kak Ve! Ayo sini, Kak Gicha sudah nyuruh masuk tuh!"
Teriakan Stella dari dalam sanggar seakan mengembalikan Kinal dan Ve menapak tanah lagi, dan sadar dari segala pembicaraan barusan. Sama tersenyumnya, mereka berdua saling bantu untuk berdiri dan dengan semangat berjalan masuk ke sanggar.

"Yah, yang penting kita coba dulu aja. Jangan pikirkan yang aneh-aneh." ujar Ve sebelum masuk ke dalam sanggar.

"Haha, semangat! Meski nggak bisa dilihat semua orang, bintang-bintang itu masih terlihat indah untuk sebagian orang kan?" Kinal mendorong tubuh Ve untuk berjalan didepannya, menyusul Stella.

"Kalian berdua ngapain sih?" tanya Stella penasaran.

"Nanti kita ceritain Stel. Sekarang latihan dulu. Oh ya, Bima Satria Garuda, jadi?"

"Jadi Nal. Nggak kebayang nanti jadi sesibuk apa, tapi aku putusin untuk terima tawaran itu. Kapan lagi kan?"

"Ya udah sih, yang penting kan dijalani aja dulu, Nal, Stel." sela Ve.

"Hey ayo cewe-cewe rempong, cepet masuk sini. Latihan lagi!"

Teguran dari sensei Gicha membuat mereka bertiga buru-buru masuk dan memulai lagi latihannya. Memulai lagi menyusun keping-keping mimpi mereka. Keping-keping yang nantinya entah akan berwujud apa hasilnya. Keping-keping yang terus berusaha disusun oleh mereka. Oleh ke-24 member ditempat itu

Jumat, 16 Agustus 2013

Mimpimu Ketinggian! (fanfict inspired and dedicated to my oshi, @sendyjkt48)


Halo diary, ini masih aku, Ningsih. Apa kabarmu hari ini?

Kabarku? Masih sama dengan hari-hari kemarin, capek keliling kota ini menyanyi panggung ke panggung. Kadang aku ingin berhenti saja dari dunia ini, diary.
Berhenti bernyanyi keliling, berhenti selalu tersenyum palsu di depan penonton, berhenti mencoba menenangkan penonton-penonton mabuk yang lebih sibuk berkelahi daripada mendengarkanku bernyanyi. Capek.

Tapi, diary, kalau aku berhenti disini, aku mau makan apa? Penghasilanku satu-satunya ya cuma dari bernyanyi ini.
Diary, jangan bosan mendengarkan cerita ceritaku ya.
_____________________________
Dear diary, kau tahu, hari ini ada penyanyi baru yg ikut gabung di orkes keliling ini.

Biduan itu tidak jauh berbeda dengan umurku, badannya mungil, dia lucu, dan matanya bagus. Aku masih belum begitu akrab dengannya, namanya saja aku belum tahu.. Hehe. Tapi mungkin besok aku akan berkenalan dengannya.

Kau tahu, diary, aku jadi sedikit bersemangat sekarang. ^^
_____________________________
Diary, apa kabarmu hari ini? Hari ini tidak berjalan baik lagi.

Akan aku ceritakan, diary, tapi kau dengarkan dengan baik ya.

Hari ini, lagi-lagi terjadi kericuhan ketika aku dan orkes kami tampil di balai desa. Kenapa sih, diary, orang-orang lebih sibuk berkelahi daripada mendengarkan aku bernyanyi? Aku marah, kesal. Padahal waktu itu, pas aku punya kesempatan nyanyikan lagu favoritku, Kereta Malam.

Tapi, tebak apa yg terjadi selanjutnya? Kau tahu biduan baru orkes kami itu kan, diary? Saat aku kesal dengan penonton dan ingin berhenti saja, biduan itu masih tersenyum dan bernyanyi dengan semangat. Matanya itu lho, diary, seakan menyuruhku untuk tetap bertahan diatas panggung. Aku tidak mau kalah bersinar dengan dia.

Lalu, setelah selesai, dibelakang panggung barulah aku punya kesempatan berbicara dengan dia. Dan kau tahu apa yg dia katakan? Dia berkata bahwa seperti apapun kondisi penonton, artis diatas panggung harus bisa profesional dan memberikan yg terbaik. Dan itu menjelaskan bagaimana sorot matanya tetap bersinar di kondisi yg mengesalkan buatku.

Sepertinya aku masih harus belajar lagi untuk jadi artis panggung yg baik.

Oh ya, nama biduan itu adalah Senia. Aku tidak tahu bagaimana penulisan namanya, apakah Senia atau Xenia. (Hey, kalau Xenia, itu mirip seperti superhero perempuan di tv dulu itu ya?! Hehe).
_____________________________
Halo diary! Aku cuma mau bercerita tentang teman baruku, Senia.

Ternyata dia sudah punya lagu sendiri lho. Bahkan dia sudah pernah bikin videoclip! Wow..

Ya dia bilangnya itu cuma videoclip murah, tapi itu tetap saja hebat kan, diary! ^^

Aku sempat bertanya apa cita-citanya, dia bilang ingin mengembangkan suaranya sampai bisa didengar diluar negeri. Wah, agak ketinggian sepertinya ya, diary. Aku hampir tertawa mendengar dia bercerita seperti itu, tapi aku tahan. Tidak baik kan menertawakan cita-cita orang lain?

Oh ya, sampai disini dulu ya, aku ada janji dengan Senia untuk makan malam. Kau tahu, diary, Senia itu orang yg sangat lucu dan menyenangkan!
_____________________________
Diary, maaf ya aku tidak menyapamu seminggu ini. Kau tahu kan, orkes kami sekarang sedang kebanjiran order. Mungkin gara-gara kehadiran Senia. ^^ (dan aku yakin itu!)

Seminggu ini orkes kami berkeliling jawa barat! Ya bukan di kota dan panggung besar, masih di desa-desa atau acara-acara kampanye, tapi aku senang sekali! Ini pertama kalinya aku tur keliling seminggu nonstop.

Tapi, kau tahu apa yg dikatakan Senia, diary? Dia bilang ini belum cukup! Dia masih belum puas, diary! Senia masih ingin tur yg lebih lama, yg lebih besar dari ini. Wow..

Aku tidak pernah tahu dimana akhir dari mimpinya yg ketinggian itu. Kau tahu kan, diary, kita hanya artis dangdut kecil, mana mungkin bisa keliling provinsi bahkan internasional.
_____________________________
Diary.... Aku lagi sedih.

Senia tiba-tiba mengajukan pengunduran diri dari orkes kami.. Padahal kami sedang sibuk-sibuknya karena banyak tawaran manggung.

Memang sih, Mang Didik, pimpinan orkes kami sudah menyiapkan biduan baru pengganti Senia, tapi tetap saja, aku merasa kesuksesan orkes kami akhir-akhir ini lebih karena faktor adanya Senia. Karena semangatnya Senia, suara emasnya, matanya yg selalu bersinar menunjukkan antusiasme, dan cita-cita ketinggiannya yg selalu lucu untuk didengarkan.

Waktu aku telpon Senia, dia bilang dia menemukan sedikit celah kesempatan untuk mewujudkan mimpinya. Aku bertanya, mimpi apa? Mimpi yg ketinggian itu? Mimpi untuk memperdengarkan suara dia di luar negeri? Aku rasa dia sudah gila, diary.
_____________________________
Aku tidak tahu apa yg bakal aku ceritain sekarang, diary. Sudah hampir sebulan ini aku tidak komunikasi lagi dengan Senia. Terakhir kali dia bilang dia akan dikarantina. Aku tidak tahu karantina apa itu, sms nya berhenti di kata 'karantina' begitu saja.

Biduan baru di orkes kami, pengganti Senia, itu juga memiliki suara yg bagus lho, diary. Kapan-kapan akan aku ceritakan tentang dia.
_____________________________
Diary! Apa kau sekaget aku? Kau tahu kan ada girlband baru itu, yg kemarin ada di tv, yg anggotanya banyak banget itu?

Aku seperti melihat ada Senia diantara mereka!

Aku tidak yakin sebenarnya, karena ada banyak cewek disana. Tapi ada satu sorot mata yg mirip dengan Senia, sorot mata yg tidak pernah aku lupa itu.

Baiklah, mungkin aku akan sedikit mencari tahu tentang girlband jekate empatlapan ini. Siapa tahu kan itu benar-benar Senia?
_____________________________
Ya Allah, diary.... Akhirnya aku temukan kamu lagi. Sudah setengah tahun ya kita tidak bertemu! Kau sih, pake hilang segala, sampai aku beli diary baru lagi kan... :')

Aku lanjutkan tulisanku yg sebelumnya disini ya, aku kan berjanji untuk mencari tahu apa itu jkt48.

Itu ternyata bukan girlband lho, diary. Tapi idol group.

Tentang Senia, aku tidak menemukan ada nama "Senia" di daftar anggota member jkt48, tapi ada satu member yg aku yakin bahwa dia itu Senia. Namanya Sendy Ariani.

Kenapa aku yakin, diary? Mukanya mirip, meski sekarang dia agak gendut ya, suaranya yg emas itu sempat diperdengarkan di tv, di acaranya tukul itu lho. Aku masih ingat suara itu! Aku masih ingat suaranya ketika dia nyanyi Terlena.
Dan matanya.. Aku tidak pernah lupa garis-garis semangat di dalam matanya itu.

Aku yakin Sendy Ariani ini adalah Senia, diary! ^^
_____________________________
Akhirnya, kau sudah sampai di halaman terakhirmu, diary. Sudah banyak sekali curhatanku disini, semoga kau tidak membenciku karena itu ya, diary. :')

Di tulisan terakhir di halaman terakhir ini, aku cuma ingin berbagi denganmu, diary. Berbagi tentang mimpi. Jangan pernah lagi mencap sebuah mimpi itu 'ketinggian'. Tidak ada mimpi yg ketinggian, diary. Semua mimpi, selama itu bisa kita ciptakan di pikiran, pasti bisa kita wujudkan di tindakan.

Aku kemarin akhirnya bertemu lagi dengan Senia lho. Dia yg berinisiatif untuk datang ke markas orkes kami. Aku benar-benar rindu dengannya!

Kau tahu, diary, dia datang ke markas dengan mengenakan kaos bertulis "jkt48". Haha, dia sudah jadi artis besar sekarang. Dan dia juga berbagi cerita dan foto serta video ketika dia bersama jkt48 sedang manggung di jepang. Beda sekali dengan aku yg masih saja ada di panggung dangdut kecil ini.

Tapi, kau jadi saksi ya diary, aku berjanji, aku tidak akan menyerah dalam mimpi-mimpiku mulai sekarang. Kalaupun rejekiku masih di dangdut, akan aku teruskan hingga nama Sri Ningsih bisa sejajar dengan idolaku, Iis Dahlia.

Ketinggian? Kata siapa, diary? Aku pernah bilang itu ke Senia, tapi apa yg terjadi sekarang? Aku belajar dari dia, dari Senia, dari Sendy Ariani, bagaimana cara meraih mimpi-mimpi yg ketinggian itu.

~END~

Author : @PradanaAnandya