Cewek itu masih disana dengan buku
bacaannya, meski dia tahu pikirannya sudah tidak lagi di buku yg tengah
dihadapinya sejak cowok itu duduk dua bangku didepannya, dan bersenda gurau
dengan dua kawannya.
Cowok itu tersenyum ketika salah satu
dari dua kawannya melontarkan canda, meski dia juga tahu senyumnya bukan karena
itu tapi lebih disebabkan oleh aroma parfum mahal yg dikenakan oleh cewek
stylish namun pemalu yg duduk dua bangku dibelakangnya.
Mereka berdua sama penasaran dan
ingin berkenalan, tapi sama gengsi untuk menjadi yg pertama mengambil tindakan.
Cewek itu dengan bukunya dan beberapa
pandangan sinis-mungkin iri-dari beberapa sesama jenisnya di kelas itu, dan
cowok itu yg berada di tengah dua kawan kanan-kirinya yg cerewet tapi kalah
jauh pesonanya. Keduanya terlihat gelisah.
Padahal sudah hari ketiga, umur dari
kelas yg mereka berdua tempati, tapi diantara mereka masih saling belum
berbicara. Yg cewek, fashionable tapi terlihat berkawan akrab dengan buku-buku
filosofi, sehingga membuat keder. Yg cowok, rupawan, tapi terlalu diam dan
misterius untuk menanggapi guyonan mahasiswa yg sering dilontarkan dua kawan
setia yg selalu bersamanya.
Sama-sama bertemu di kelas desain
grafis, mimpi cewek dan cowok itu sama, ingin menggores sebanyak mungkin kertas
dengan imajinasi mereka. Hanya bedanya, cewek itu pesohor. Sedangkan cowok itu
anak tukang bor.
Ya, pesohor, artis. Performer. Calon
desainer. Embel-embel yg melekat di atas kepala cewek itu. Sedangkan, pemimpi
besar, dan bertampang rupawan, tapi anak tukang bor, adalah biodata yg tertera
di setiap otak orang yg mengenal cowok itu.
"Aku berteman dengan siapa saja
kok," sambil matanya yg berkacamata itu melihat kearah tiga tumpukan buku
yg masing-masingnya bertulis nama William Ockham, Francis Bacon, dan Thomas
Hobbes. Yg membuat siapapun keder berteman dengan si pesohor.
Cowok itu pun juga begitu, sepertinya
dia juga salah telah menanyakan apakah cewek itu mau berteman dengannya.
Artis. Berteman-imaji dengan
nama-nama yg bahkan dia tidak tahu wajahnya. Bacon, Hobbes, Ockham.
Tersenyum simpul, si cowok perlahan
menjauhi si cewek setelah untuk pertama kalinya di kelas itu mereka berbicara
bertatap muka.
"Tunggu! Kenapa?" Ucap si
cewek getir.
"Tidak apa, aku lihat matamu
masih tertuju pada tumpukan buku itu. Mungkin aku yg mengganggu waktu
membacamu." Jawab si cowok, tak kalah getir.
"Aku tidak terlalu memiliki
teman disini. Tidak bisakah kau berbicara denganku sedikit lebih lama?"
keluh si cewek. Tapi kalimat itu hanya keluar dari sorot matanya, bukan
mulutnya yg kini hanya tersenyum kecil. Si cowok menjauh lagi untuk hari itu.
Entah berapa hari lagi mereka akan berbicara seperti tadi.
Sudah satu lembar kalender, dari dua
belas lembar, berganti di kelas itu. Kelas itu juga seolah sudah menampakkan
jati diri aslinya yg ternyata adalah 'ruang penyiksaan' bagi siapapun yg duduk
dibangkunya. Beberapa mahasiswa gugur sakit akibat terlalu sering dan belum
terbiasa terjaga sepanjang malam. Tapi anomali bagi si pesohor dan si anak
tukang bor. 'Ruang penyiksaan' ini layaknya panggung pentas bagi mereka berdua.
Desain mereka dipuji. Tugas mereka
rapi. Waktu tidur mereka tidak rugi. Si anak tukang bor senang, si pesohor
lebih lebih lagi.
Sudah menjadi kekaguman bersama di kelas
itu, si pesohor yg sering mengajukan izin absen, yg selalu latihan malam
sepulang kuliah, masih bisa menjadi bintang. Sama halnya dengan si anak tukang
bor. Anak tukang bor yg tidak memiliki laptop, yg pallet warnanya sudah
bengkong karena tidak pernah ganti, yg sebagian besar crayon nya sudah tinggal
separuh batang, yg kertasnya selalu terlihat paling murah diantara sekelas,
terangnya tidak kalah dibanding si pesohor.
Pernah suatu waktu si pesohor mencoba
untuk membuka percakapan dengan si anak tukang bor. Percakapan yg hanya berumur
1 menit. Karena si pesohor tidak tahan dengan tatapan risih dari cewek lain
dikelas ini yg iri dengannya berbicara kepada si anak tukang bor nan rupawan.
Keduanya pernah disatukan dalam
sebuah diskusi yg membahas kehidupan. 'Life'. Bukan membahas yg macam-macam,
hanya untuk tugas desain mereka. Tapi mereka berdua tahu, cakupan sebatas tugas
kuliah tidak akan cukup menampung letupan-letupan gagasan mereka berdua tentang
'life'. Kadang meninggalkan teman-teman se-tugas mereka demi bisa lebih
bertukar pikiran.
Meski begitu, si pesohor masih ragu
untuk sekedar bertanya nama atau memberitahukan namanya kepada si anak tukang
bor. Sudah sebulan lebih mereka berdua saling sapa, kadang saling bicara, tanpa
tahu siapa namanya.
Pagi yang biasa di hari yang biasa
pada kelas yang biasa mereka bertemu. Kali ini sedikit tidak biasa karena Tuhan
berkehendak lewat perantara bernama 'kebetulan', mempertemukan si pesohor dan
si anak tukang bor itu. Kelas sudah hampir penuh dan hanya menyisakan satu
kursi bagi si pesohor yang telat karena kesibukannya. Satu kursi tepat
disamping si anak tukang bor.
"Sedang sibuk kerjanya?"
tanya si anak tukang bor berbasa-basi pengecut. Frasa 'basa-basi pengecut'
mungkin jika dinyatakan dalam ilustrasi, adalah ketika kau berbicara pada
seseorang tanpa berani menatap matanya.
"Iya. Kemarin sampai malam, ada
show." Jawab si pesohor yang juga tidak kalah pengecutnya.
Mereka berdua sama-sama pengecut,
tapi entah kenapa di benak masing-masing, ke-pengecut-an itu terlihat sangat
gentle dan imut.
"Tugas?"
"Ah iya, sudah selesai. Sehabis
show aku langsung mengerjakannya."
"Tidak capek? Seharusnya
istirahat saja, toh pihak kampus juga sudah tahu dan maklum."
"Tidak bisa begitu. Aku yang
tidak mau kalau diperlakukan berbeda dengan mahasiswa lainnya."
Jawaban dari si pesohor itu tak pelak
mengundang senyum kagum di mulut si anak tukang bor. Dia lega, wanita bak
cleopatra yang duduk disebelahnya saat ini tidaklah jauh dari dimensi
kehidupannya. Si pesohor itu masih manusia biasa. Atau lebih tepatnya manusia
luar biasa karena keinginannya menjadi manusia biasa walaupun dia berstatus
pesohor.
Sepanjang hari itu mereka berdua
duduk bersebelahan. Sebenarnya sudah banyak kursi lain yang sudah kosong, tapi
alasan ingin dekat pendingin ruangan, membuat si pesohor tidak ingin beranjak
dari sebelah si anak tukang bor. Alasan minor yang diungkapkan untuk menutupi
alasan major.
Tapi tetap saja, tidak ada step yang
berkembang dari sana meskipun mereka berdua ingin berkenalan lebih jauh.
Mungkin seperti yang dikatakan salah satu penulis, ketika si terlalu kaya
bertemu dengan si terlalu miskin ada titik kritis yang menyebabkan keduanya
menjadi krisis apresiasi. Atau mungkin juga ini tidak terlalu serumit itu.
"Kau tahu mereka ini?"
tanya si pesohor disuatu sela mata kuliah. Mata dan tangannya mengarah ke
tumpukan buku yang dia bawa. Bacon, Hobbes, Ockham.
Namamu saja aku masih belum
tahu, bagaimana aku bisa tahu mereka siapa? Si
anak tukang bor ingin sekali menjawabnya dengan kalimat itu, meski yang keluar
dari mulutnya berupa kalimat, "Kalau Bacon yang tertulis disitu bukan
merupakan daging asap, berarti aku tidak tahu siapa mereka itu."
"Hahaha... Oh, bukan bukan, ini
Bacon, Francis Bacon. Filsuf. Bukan bacon daging asap." Si pesohor tertawa
renyah mendengar celetukan yang disampaikan oleh si anak tukang bor. Serenyah
kerupuk rempeyek pada nasi pecel menu sarapan si anak bor itu tadi pagi.
Si pesohor sudah mulai terbiasa tidak
menghiraukan tatapan-tatapan iri dari seluruh cewek di kelas kala dia
berbincang akrab dengan si anak tukang bor, cowok paling menjadi pusat
perhatian di kelas. Yang ada dipikiran si pesohor adalah, dia ingin sekali
mempunyai teman di kelas itu. Dan pilihannya jatuh pada si anak tukang bor.
Satu-satunya cowok yang berani mendekatinya disaat tiga "bodyguard"
nya, Bacon, Ockham, dan Hobbes, dengan seramnya membuat keder siapapun yang
ingin mendekati si pesohor.
"Aku tidak terlalu mengikuti
filosofi dan filsuf. Aku tidak paham."
"Oh, kalau begitu, apa yang kamu
suka? Buku apa yang sedang kamu baca?"
Perubahan sikap ditunjukkan oleh si
pesohor. Dan pemilihan kata "kamu" untuk menggantikan kata
"kau" sebagai panggilan untuk orang kedua, tampaknya berbuah dengan
mencairnya kekakuan diantara mereka berdua.
"Aku..tidak terlalu sering
membaca buku. Mana cukup uangku untuk membeli buku? Kamu tahu kan, aku harus
bertahan hidup di kota ini sebagai anak tukang bor, dan itu tidak
gampang," jawab si anak tukang bor dengan berusaha tidak menampakkan
kegetiran di tiap nada suaranya.
Kembali, kekakuan yang sebelumnya hilang
kini muncul lagi. Si pesohor merasa terlalu bodoh untuk bertanya seperti tadi,
dan si anak tukang bor menyesal telah memutus bahan pembicaraan dengan cara
yang sama sekali tidak elegan barusan.
Dan berakhirlah 'kebetulan' di hari
itu.
***
"Pagi."
"Pagi juga."
Saling sapa diantara mereka terdengar
janggal, karena tanpa menyebutkan nama masing-masing. Keduanya masih terlalu
pengecut untuk saling mengenal lebih jauh.
Dan hanya itu percakapan yang terjadi
untuk setengah hari itu. Sampai ketika dosen desain grafis mereka mengumumkan
akan diadakan lomba desain tingkat nasional yang diadakan di kampus mereka
sebulan dari sekarang.
Lomba itu khusus untuk mahasiswa
jurusan desain grafis. Berformat team, satu team berisi dua orang. Mengangkat
tema 'Life'.
Bak terpicu oleh remote control yang
berfrekuensi sinyal yang sama, keduanya, si pesohor dan si anak tukang bor
saling menatap kearah masing-masing. Ini kesempatan bagi keduanya.
Dan juga sepertinya dosen mereka
terpicu oleh remote control yang sama, ketika tiba-tiba dosen itu berkata,
"Akan sangat seru kalau dua orang terbaik di kelas ini bergabung jadi satu
team." Jelas sekali dosen itu merujuk pada si pesohor dan anak tukang bor
itu.
"Kamu mau jadi teamku untuk
event itu?" tanya si anak tukang bor duluan ketika kelas sudah selesai.
Kau tidak perlu tanya itu
bodoh, justru aku yang ingin jadi teammu! Si
pesohor hanya menjawabnya dengan anggukan.
"Tapi, mungkin kita tidak bisa
terlalu sering untuk brainstorming bersama. Aku ada pekerjaan."
"Oh, aku sepenuhnya paham akan
hal itu. Tenang saja, itu sudah masuk dalam daftar kemungkinan resiko yang akan
aku hadapi begitu aku mengajakmu dalam event ini."
Perasaan si pesohor sedikit
tersinggung tapi bisa menangkap maksud dari kata-kata dari si anak tukang bor.
"Bagaimana menurutmu? Tema event
ini?"
"Menarik. Dan luas." jawab
si pesohor antusias.
Mereka berdua sama-sama antusias.
Sedikit untuk event yang akan mereka ikuti ini, lebih massive untuk antusiasme
akan waktu-waktu yang bakal mereka habiskan bersama. Berdua.
***
"Mungkin, bisa seperti
ini..." si anak tukang bor menatap secarik kertas gambar A4 di meja.
Kertas gambar ketiga yang sudah ternoda oleh ide-ide si anak tukang bor.
Pada kertas itu tergambar sebuah
pohon. Rindang. Tapi berdaun wajah manusia dalam berbagai ekspresi. Kertas
lainnya malah lebih unik, ada awan dengan berbagai macam karakter yang menemani
awan itu, yang satu lagi kertas bergambar lebih abstrak. Beberapa kertas kecil
bergambar seperti mural dan grafiti yang sering kita jumpai di kolong-kolong
jembatan, namun dalam skala kualitas yang jauh lebih bagus, terlihat berceceran
hingga ke lantai dekat tempatnya duduk.
Si anak tukang bor memang terkenal
sebagai sosok kreatif. Desain dan goresan pensilnya selalu menarik perhatian
orang, walaupun sering kali orang yang tertarik tadi tidak paham apa yang
dimaksud oleh gambar itu.
Sementara dua sahabat cowok dari si
anak tukang bor itu berada di sampingnya. Memberikan ide semampu mereka. Ide
yang sia-sia sebenarnya, karena level ide yang keluar dari mereka berdua jauh
dibawah alam kreativitas sang anak tukang bor.
Si pesohor, hari ini tidak masuk
kelas. Ada perform di tv, begitu bunyi surat izin yang tadi pagi dibacakan oleh
dosen.
"Kau sudah menemukan
idenya?" tanya salah seorang sahabat si anak tukang bor itu.
"Belum. Hanya sebatas ini. Aku
tidak begitu tahu 'Life' seperti apa yang diinginkan. 'Life' dalam ingatan dan
pengalamanku adalah yang jelek, tidak indah. Mungkin nanti aku akan minta
pendapat dia, aku yakin artis itu sudah pernah melihat 'Life' yang
indah-indah."
"Jadi, kau belum tahu namanya?
Dia terkenal sekali, dia salah satu personil JKT48 itu kan? Namanya adalah
Je..."
"Ah! Simpan itu untuk nanti,
kawan! Biar aku sendiri saja yang bertanya langsung padanya. Seseorang spesial
harus di-treatment secara spesial juga, benar kan? Biar saja begini dulu, aku
masih menikmati berbicara dengannya seperti ini."
"Haha, aku tidak pernah mengerti
jalan pikiranmu itu. Waktu dosen mengabsen kelas juga kau lebih memilih untuk
memasang earphone-mu itu begitu namamu selesai dipanggil. Apa itu juga karena
kau tidak ingin mendengar nama dari gadis itu?"
"Yup! Sekarang mari kita sudahi
saja membicarakannya. Aku takut dia bersin-bersin disana karena kita
membicarakannya seperti ini."
"Hahaha, sekali lagi keluar
kata-kata yang tidak ilmiah dari mulutmu, kawan."
"Hidup jangan terlalu dibuat ilmiah.
Kita bukan robot. Kita diciptakan bukan untuk menuruti perintah, tapi
menjalankan kewajiban."
Dua sahabat si anak tukang bor itu
hanya tersenyum dan memilih untuk tidak melanjutkannya lagi. Mereka sangat
senang mempunyai teman seperti si anak tukang bor itu.
***
Dengan kemarin, total sudah tiga hari
si pesohor tidak mengikuti kelas.
Tapi hari ini, dia nampak terlihat di
tempat duduknya yang biasa. Dan dengan tiga "bodyguard" nya yang
seperti biasa, bikin keder. Bacon, Ockham, dan Hobbes.
"Setelah kelas, kantin lantai
tiga, bisa?"
Si pesohor terkejut dengan ajakan
yang tiba-tiba dari si anak tukang bor. Buku Francis Bacon yang sedang
dibacanya pun ia tutup namun lupa diberi penanda halaman. Setelah tampak
menyesal dengan hilangnya halaman buku yang tengah dibacanya, si pesohor
tersenyum manis dan mengangguk mengiyakan ajakan si anak tukang bor.
Lima jam waktu kuliah hari itu terasa
seperti lima menit saja bagi si pesohor. Dia tidak terbiasa janjian dengan
seseorang, apalagi hanya berdua, apalagi dengan seorang cowok. Meski dia tahu
ajakan itu adalah ajakan diskusi untuk event, tetap saja dia tegang.
Dikeluarkannya dari dalam tasnya satu lagi buku "menyeramkan" dengan
genre psikologi Marxist, bertuliskan 'Sigmund Freud' besar. Resmilah
"bodyguard" si pesohor itu menjadi empat.
Sore itu di kantin lantai tiga, sepi
pengunjung. Ada beberapa pasangan yang memilih kursi pojok, berciuman. Si
pesohor yang tiba lebih dulu di kantin itu menjadi semakin tegang dan tertekan.
Sementara si anak tukang bor sedang menghadap dosen untuk memberikan rancangan
awal desainnya untuk event tersebut.
"Ah, maaf, tadi si ibu dosen
sedikit ceramah tentang ini," si anak tukang bor dengan nafas yang
terengah-engah melambai-lambaikan kertas gambar A4 nya.
"Mungkin, kita di ground floor
saja. Aku tidak nyaman disini," pinta si pesohor sambil menyilangkan tali
tas selempangnya ke bahu kirinya.
"Ya, aku juga merasa seperti
itu," jawab si anak tukang bor setuju.
"Lalu, apa yang sudah kamu
kerjakan? Boleh aku lihat?"
"Silahkan. Bu dosen sudah setuju
desain ini yang diajukan ke panitia lomba, tapi aku belum akan menyerahkannya.
Setidaknya sampai kamu lihat dan juga menyumbang ide disini."
Si anak tukang bor kemudian
menyerahkan tiga kertas gambar yang berada di tangan kanannya itu.
Tidak keluar komentar apapun dari
mulut si pesohor.
Si pesohor sedang merasa ada di dunia lain.
Goresan, bentuk desain, permainan
warna yang dipilih, dan pemilihan karakter yang dilakukan si anak tukang bor
itu seakan masuk ke dalam ranah kreativitas si pesohor. Mereka menyatu. Bermain
di angan-angan. Si pesohor bisa melihat emosi-emosi yang ada di kertas itu. Dia
sedang berada di amusement park pribadi milik imajinasi si anak tukang
bor. Tapi ada sesuatu yang kurang. Kurang kuat. Kurang nendang. Kurang
mematikan.
"Ini bagus sekali. Indah. Tapi
ada yang kurang. Belum ada sesuatu yang membuat mataku tidak ingin
berpaling."
"Nah, disitu aku membutuhkan
imajinasi terukurmu. Imajinasiku terlalu liar untuk lomba desain bertema
seperti ini."
"Oke, mari kita coba bicara
sebentar."
"Mungkin sebaiknya dilanjutkan
besok saja. Sudah hampir senja, dan kamu ada latihan 'kan?"
"Aahh, kamu benar!"
Hampir saja si pesohor itu melupakan
jadwal latihannya. Setelah berpamitan seperlunya, dan permohonan untuk membawa
pulang kertas hasil desain itu, si pesohor menghilang dari pandangan si anak
tukang bor bersamaan dengan mobil berwarna hitam elegan yang membawa si pesohor
itu pergi.
***
Esoknya, keduanya kembali bertemu di
kantin lantai tiga. Tapi kali ini di siang hari, dan tidak ada pasangan
mahasiswa yang sedang berciuman disana.
"Kamu tahu, gambar-gambar ini
membuatku tidak bisa tidur semalaman!" ujar si pesohor dengan semangat.
Dan memang terlihat kedua matanya berkantung hitam kecil dikelopaknya.
"Seharusnya kamu
istirahat..."
"Tidak. Tidak. Bukan itu yang
ingin aku bicarakan saat ini. Desain ini, dan teori chaos and order bisa
digabungkan!"
Si pesohor menunjuk ke kertas
pertama, kemudian menunjuk lagi ke kertas kedua. Mengisyaratkan untuk adanya
penggabungan desain.
"Teori chaos and order?
Apa lagi itu?"
"Duh! Teori kehidupan! Dimana
manusia percaya bahwa kehidupan adalah keteraturan, order. Percaya bahwa segala
yang terjadi di hidup adalah keteraturan. Tapi lupa bahwa chaos adalah
teman bercumbu sang order. Chaos bagai siluman bayangan yang
selalu menghantui order. Lupa bahwa tidak ada yang pasti antara order
tercipta akibat chaos-chaos yang membentuknya, atau chaos yang
akan muncul akibat dunia ini terlalu ekuilibrium, terlalu seimbang, terhadap order."
Si anak tukang bor seakan sedang
menyaksikan seorang ahli agama yang sedang mempersuasi dirinya untuk berpindah
agama. Dia tidak mengira si pesohor memiliki sisi seperti ini, sisi yang sangat
ilmiah.
Kalau disubtitusikan ke teori itu, si
anak tukang bor jelaslah sang chaos. Sementara sosok cleopatra salah
zaman yang duduk dihadapannya saat ini adalah puan order.
"Itu kalau dimasukkan ke teori chaos
dan order. Teori itu bersudut pandang pada 'Life' secara universal. Tapi
kata Sigmund Freud..."
Sigmund Freud? Oh tulisan
yang ada di buku yang tadi dibacanya, batin
si anak tukang bor.
"....hidup itu tidak lebih dari
semacam Weltanschauung. Ketakutan. Kita takut, itulah kenapa kita hidup.
Adaptasi. Evolusi. Semua adalah weltanschauung. Rasa takut. Semua
makhluk mampu beradaptasi karena takut. Berevolusi karena takut. Takut terhadap
pemangsa, takut tidak kebagian makanan, takut ditinggal, takut meninggalkan,
takut Tuhan, takut tidak diakui, dan semacam itu."
Dan sekarang kau benar-benar
membuatku takut..... Kembali batin si anak tukang
bor merespon tiap kata yang keluat dari mulut si pesohor.
"Dan untuk Sigmund Freud, desain
ini yang cocok." si pesohor menunjuk ke kertas ketiga yang bergambar pohon
manusia.
"Aku tidak tahu. Mungkin kita
bisa menggabungkan saja semuanya. Sigmund atau siapa itu, dengan order-chaos.
Jadikan satu saja." si anak tukang bor coba menanggapi.
"Jangan! Itu malah menjadi tidak
kuat. Jangan jadi chaos disini, kita sudah berhasil menyusun skema dari ide-ide
kita."
"O-oke ma-am.."
"Ah, aku terlalu banyak omong
ya? Maafkan aku!"
Si pesohor menghentikan ceramah teorinya
itu untuk sesaat. Kepalanya menunduk malu. Kecantikan ratu cleopatra kalah oleh
raut malu si pesohor saat ini.
"Haha, tidak apa. Justru itu
yang aku cari. Penguatan-penguatan itu yang aku butuhkan. Yang kita butuhkan.
Untung saja aku tidak langsung memberikan desain itu pada bu dosen."
Perbincangan mereka berlanjut hingga
hampir malam. Dan mengundang rasa iri dari tiap mata cowok dan cewek lain yang
lewat di dekat mereka.
***
"Yap, kira-kira seperti
ini."
Si anak tukang bor menunjukkan desain
hasil revisi bersama dengan si pesohor itu.
Dan sekali lagi, goresan, desain,
warna, dan karakter yang tersaji di kertas itu seakan membuat si pesohor
terbius. Orgasme imajinasi. Masih tetap membuat melayang di angan-angan. Masih
terlihat emosi yang kaya. Tapi kali ini si pesohor merasa amusement park imajinasinya
itu lebih kuat, terasa sentuhan Sigmund Freud, terlihat beberapa idol
philosophy milik Francis Bacon.
"Tunggu dulu. Ini jenius. Idol
philosophy nya Bacon kenapa ada disini? Benar kan, ini pikirannya Bacon
yang kamu campur juga disini? Jenius, hidup memang butuh idolisasi. Butuh
seseorang di depan kita yang bisa kita tiru langkah baiknya. Tapi, bukannya
kemarin-kemarin kita hanya membahas order-chaos dan Sigmund Freud? Dan aku juga
tidak merasa memberitahumu tentang pikiran dan teori milik Bacon, benar
kan?" tanya si pesohor keheranan di tengah lamunan imajinasinya ketika
memperhatikan kertas desain di hadapannya itu.
Entah untuk suatu alasan tertentu, si
anak tukang bor itu tersenyum puas.
"Aku memutuskan untuk mencari
tahu. Aku cuma tidak ingin kosakata 'bacon' di otakku hanya berupa daging
asap." jawab si anak tukang bor itu percaya diri lalu menunjukkan tumpukan
kertas fotokopian yang dijilid jadi satu. Dengan satu tulisan besar yang
familiar, Francis Bacon.
Tidak ada kata-kata yang keluar dari
keduanya setelah itu. Si pesohor merasa tersanjung dengan kata-kata dan
tindakan si anak tukang bor. Satu-satunya orang yang berhasil melampaui
"bodyguard" yang sengaja dia pasang.
Muka si pesohor merona merah.
"Jadi... Setelah ini, kita bisa
lebih nyambung?" tanya si pesohor ragu-ragu.
"Itulah gunanya aku juga membaca
buku ini, meski hanya fotokopian."
Si pesohor tampak malu. Kecantikan
yang melampaui ratu cleopatra itu terpancar kembali. Kecantikan yang membuat si
anak tukang bor nan rupawan itu tidak tahan lagi untuk bertanya.
"Siapa namamu? Ah, anu, bukan
bermaksud sok dekat, hanya kita perlu menuliskan nama kita berdua di kertas
desain itu sebelum kita serahkan pada panita lomba 'kan?"
"Iya tidak apa. Namaku Jessica.
Jessica Veranda. Kamu bisa panggil apa saja, Jessica atau Ve. Dan...eh, namamu?
Biar aku saja yang tulis nama kita dikertas ini," tanya si pesohor itu
tidak kalah ragunya.
"Angga Agustian. Orang
terdekatku sering memanggilku Angga Balenk."
"Balenk?"
"Ya, sepertinya itu semacam
panggilan untuk anak tukang bor di daerahku. Teman-temanku sesama anak tukang
bor juga mendapatkan embel-embel Balenk. Icang Balenk, Setiyo Balenk, dan
lainnya."
"Hihi. Kamu lucu.."
Tawa geli mereka berdua akhirnya
meruntuhkan dinding tebal diantara mereka berdua yang selama ini tercipta.
Selaras dengan tangan lentik Jessica yang menuliskan nama mereka di kertas
hasil peleburan ide mereka berdua itu. Bukti akan "satu" nya pikiran
mereka.
Dan itu awal dari dimulainya sebuah
cerita, sebuah romansa, dari sebuah kampus desain. Romansa yang bahkan membuat
Romeo dan Juliet iri membacanya.
~END~
Author : @PradanaAnandya