Arc 1.
"Sepertinya, aku memang harus
menghampirinya.." gumam gadis itu. Langkahnya ragu-ragu antara maju atau
hanya diam di tempat sambil menendang-nendang kecil bola khayalannya.
Lebih dari 20menit gadis itu berkutat
dalam keraguan. Ingin sekali dia menghampiri seorang pria yang sedari 20menit
yg lalu ia perhatikan. Tapi, gadis itu terlalu malu dan ragu.
Gadis itu terkenal sekali sebagai
gadis paling pemalu dan pendiam diantara kumpulannya. Sosoknya yg cantik dan
semampai, belum bisa membantunya untuk lebih percaya diri. Seperti saat ini.
Ketika gadis itu memilih untuk sengaja terpisah dari teman-temannya di sebuah
mall.
Duh, mas tengok sini dong..
Biar aku gak usah datang kesana..
Batin gadis itu terus berharap pria
yg dipandanginya sedari tadi itu untuk menengok kearahnya.
Gak mungkinlah, aku yg harus
memberanikan diri untuk kesana. Sudah gak ada waktu lagi.. Oke, simple kok,
dekati dia, dan cuma butuh satu atau dua kata saja kan.. Ayo, bisa bisa..
Entah sudah yg keberapakalinya gadis
itu mencoba untuk meyakinkan dirinya sendiri. Dan di kesempatan itu, gadis itu
akhirnya memberanikan diri. Menekan rasa malunya. Ada sesuatu yg lebih penting
untuk diutarakan daripada menuruti rasa malu dan takutnya.
Sudah gak ada waktu lagi..
Langkahnya kecil-kecil, kadang
bergetar, kentara sekali bahwa gadis itu malu dan takut. Namun, ia sudah tidak
bisa menuruti itu. Setidaknya untuk saat ini. Gadis itu harus berbicara empat
mata dengan pria yg sedang ditujunya saat ini.
Kepalan tangannya tergenggam erat. Di
kepalanya tercetak berpuluh skrip dialog yg bisa dia ucapkan saat berbicara
empat mata dengan pria itu. Amunisi sudah cukup. Tinggal keberanian maju ke
medan perang.
Hanya sepuluhan meter jarak antara
gadis itu dan pria yg masih belum menyadari keberadaan si gadis. Gadis itu
berhenti melangkah. Skrip di otaknya buyar. Keberanian yg tadi dikumpulkannya
selama melangkah, tiba-tiba lenyap. Gadis itu malu sekali. Dia tidak sanggup
untuk mengutarakannya sekarang.
Di momen itu, tepat ketika gadis itu
akan melangkah menjauh dari sang pria, pria itu menengok.
Waktu serasa berhenti bagi sang
gadis. Badannya, terutama sekujur tulang belakangnya seperti diguyur air es.
Merinding. Matanya bertemu dengan mata sang pria. Pria yg sudah ia perhatikan
selama lebih dari 20menit.
Tulang belakang yg seperti diguyur
air es tadi semakin ngilu dan merinding, ketika sang pria, dengan suara berat
berwibawa, berkata "Ada yg bisa saya bantu, dek?"
"A..anu..aa..toilet a..ada
dimana yaa pak?"
"Oh, lurus saja ke lorong timur
itu, nanti belok kanan."
"Pak satpam!" seorang ibu
dengan terburu memanggil pria yg tadi berbicara dengan gadis itu. Dan segeralah
satpam itu meladeni sang ibu yg sepertinya kehilangan anaknya.
Dan seketika itu pula seluruh dingin
yg menempel di tulang belakang gadis itu lumer dan menghangat. Gadis itu dengan
cepat menuju ke lorong timur, lalu kemudian belok kanan. Berlari, dengan senyum
lega mirip seorang prajurit pulang perang membawa kemenangan.
Gadis itu, Sinka. Sinka Juliani. Umur
18 tahun. Pemalu akut...
Arc 2.
"Hey maniss.."
Sinka terkesan tidak suka dengan nada
yg dipakai dalam panggilan barusan. Dan karuan saja, berasal dari salah seorang
dari kelima pria yg sedang berjalan dibelakang Sinka. Kelima pria yg paling
tidak disukai oleh Sinka di kampusnya.
Bully, belagu, preman, dan semua
status sosial yg jelek, Sinka patri erat-erat di profil kelima pria tersebut.
Sinka masih saja berusaha cuek
sembari mempercepat langkah kikuknya. Ini bukan kali pertama Sinka digoda oleh
kelima pria tersebut.
Namun bagaimanapun Sinka berusaha
mempercepat langkahnya, bahkan setengah berlari, kelima pria itu selalu dua
kali lebih cepat langkahnya ketimbang Sinka. Sadar percuma berusaha kabur, Sinka
lebih memilih untuk mencari tempat ramai, kalau-kalau terdesak, ia bisa teriak.
"Manis, jangan kabur mulu
dong," ujar salah satu dari kelima pria.
"Cantik banget sih hari
ini," tambah yg pria satu lagi.
Rencana memang mengatakan bahwa Sinka
harus menuju ke kantin, tempat ramai terdekat. Tapi entah kenapa, kaki kikuk
dan langkah takutnya malah menuntunnya menuju tepi barat tempat parkir. Memang
tempat itu salah satu jalan pintas menuju kantin, tapi Sinka salah ambil
keputusan. Justru di tempat sepi seperti itu, kelima pria yg mengikutinya tadi
seakan mendapatkan kesempatan untuk mencegatnya.
"Permisi ya! A..aku mau
le..lewat!" hardik Sinka terbata-bata.
"Iya, silakan lewat.. Mau ke
kantin? Makan ya?" jawab satu orang pria.
"Traktir kita dong. Atau duitnya
aja deh sekarang," perintah pria lainnya.
Sinka tidak menjawab. Ia hanya bisa
tertunduk takut. Takut menuruti dan takut pula melawan. Dan ketakutan Sinka
menjadi lampu hijau bagi kelima pria itu untuk lebih mem-bully Sinka. Tidak
hanya sekedar verbal dan pressure, mereka juga mulai melakukan kontak fisik.
Barusan, sudah kedua kali nya pipi Sinka disentuh oleh salah seorang pria itu,
yg sepertinya adalah pimpinannya.
"Eh! Jangan ya! Aku teriak
nih!" kesabaran Sinka mulai habis.
"Silakan teriak saja manis.
Makin manis tau kalau kamu teriak." Kelima pria itu mulai kurang ajar.
Sentuhan di pipi Sinka sudah tidak terhitung untuk yg ke berapa kalinya.
Sinka terlalu takut untuk membuka
mata. Ia kini memilih untuk menutup matanya. Memegang erat ujung resleting
jaketnya. Sementara kelima pria tadi tampak kegirangan dan semakin kurang ajar.
Hingga sampai ketika salah seorang
pria itu memegang saku belakang celana Sinka untuk mengambil dompetnya, waktu
kemudian berjalan seakan dipercepat 8 kali.
"Kamu pesan apa Sin?" tanya
Jennifer, salah seorang sahabat Sinka, membuyarkan konsentrasi Sinka yg sedang
membersihkan tangannya dari noda merah.
"Bakso aja deh, Jen. Pangsitnya
yg banyak ya!" jawab Sinka antusias.
Kelima pria tadi?
Situasi terakhir, dua orang kabur
entah kemana. Satu masih lemas di atas sepeda motornya, rencana ingin pulang
kerumahnya. Dua lainnya sedang berada di kamar mandi, saling mengobati luka
masing-masing dengan obat merah dan plester luka.
Sinka, 18 tahun, pemalu akut. Jago
karate..
Arc 3.
"Mah! Dimana sih handuk
Sinka???" omelan Sinka membuka pagi di rumah nya hari itu.
Si mama tidak menjawab, mungkin masih
tidur. Sementara Sinka sedari tadi sibuk mencari handuk di tiap lemari pakaian
yg ada di rumahnya.
"Gawat nih udah jam 6 nih. Telat
nih ngampus.. Kok ga ada yg bangunin sih tadi, ah si mama sm cici.."
gerutuan Sinka tidak berhenti.
"Ah pake handuknya cici
ajalah!" ucap Sinka lalu bergegas masuk kamar cici nya, Naomi, yg
dinginnya sedingin lemari es.
Naomi memang suka sekali setel AC ke
suhu yg sangat dingin, terutama ketika ia ingin benar-benar istirahat, men-shutdown
tubuhnya dari penat.
"Haduhhhh, ini kamar apa lemari
es!" omel Sinka begitu membuka pintu kamar Naomi. Tidak ada jawaban dari
Naomi, ia masih tertidur pulas dibalik selimut tebal yg menyelimuti hampir
seluruh tubuhnya. Hanya terlihat rambut panjang Naomi diujung selimut.
Tidak banyak basa basi, Sinka lalu
mengambil handuk yg masih terlipat rapi di lemari Naomi.
"Pinjam ya ci.." bisik
Sinka pelan, seakan tidak berharap akan dijawab oleh Naomi, lalu sesegera
mungkin keluar dari 'lemari es' seukuran kamar itu.
"Haduhh, plis plis jangan telat.
Ada kuis nih ntar jam7. Mana ntar pasti jalanan macet..." keluh Sinka
sepanjang larinya menuju kamar mandi.
"AAHHH!"
Sesaat setelah masuk kamar mandi,
tiba-tiba saja Sinka berteriak. Bukan karena ada kecoa, laba-laba, atau
sebangsanya, tapi lebih karena emosi Sinka meledak ketika melihat botol sabun
mandi kosong melompong.
Memang kemarin sabun itu tinggal
sedikit. Dan pasti sudah habis dipakai Naomi untuk mandi tadi malam.
"Ya Tuhannnn.. Mana nih refill
nya?!?!" ujar Sinka panik. Kembali, untuk kedua kalinya, Sinka
bongkar-bongkar hampir seluruh lemari dirumahnya. Padahal refill sabun cair yg
ia cari berada di rak dalam kamar mandi.
Setelah beberapa saat panik, Sinka
segera sadar. Bergegas ia kembali ke kamar mandi, mengambil refill, mengisi, kemudian
mandi. Secepat mungkin.
Jam sudah menunjukkan pukul 6 lebih
40 menit ketika Sinka keluar dari kamarnya. Menenteng tas kuliahnya,
menggenggam erat kunci mobil, dengan rambut yg tidak sempat lagi di hair-do,
Sinka setengah berlari menuju garasi.
"Mampus mampus, telat kuis ini
pasti pasti."
Ketika Sinka melewati depan kamar
Naomi, tampak pintu kamar itu sudah terbuka. Jendela didalam kamar pun sudah
dibuka. Naomi sudah duduk santai didepan tv. Masih terbungkus selimut tebal yg
dibawanya dari kamar. Selimut kesayangan Naomi.
"Duh ini cici, ga dibangunin.
Kan Sinka telat jadinya!" keluh Sinka pada Naomi sambil terus berjalan
cepat menuju garasi.
"Hm? Ini kan hari minggu dek.
Mau kemana?"
Tas kuliah yg ditenteng Sinka
terjatuh ke lantai...
Sinka Juliani, 18 tahun. Pemalu akut.
Jago karate. Ceroboh dan panikan.
Arc 4.
Hari ini lo bagus banget,
dut. Top performer dah!
Sinka tersenyum puas membaca twit
barusan. Seakan usaha kerasnya di perform hari ini terbayar.
Ini ada review tentang
perform lo hari ini. Ada kritiknya juga sih, tapi sedikit kok, soalnya hari ini
lo bagus. *link*
Twit lain masuk dan Sinka buru-buru
membuka link ke google plus milik salah satu fans. Membaca review dari fans
adalah salah satu kegiatan favorit Sinka. Dari sana banyak sekali ia belajar
memperbaiki kesalahan dan meningkatkan yg baik-baik.
Perlu sekitar 10menit untuk Sinka
selesai membaca review itu. Memang reviewnya cukup panjang.
Hey dudut! Trims ya
performnya hari ini. Keren banget. Tapi masih malu-malu ya MC nya. Tapi gapapa
:)
Sinka tersipu. Kayaknya memang kalau
masalah malu dan grogi, Sinka tidak bisa dengan mudah mengatasinya.
Sinka lanjut ke twit berikutnya.
Lalu berikutnya lagi.
Rata-rata dari hampir seratusan
mention yg masuk, semuanya memuji penampilannya hari ini.
Ada beberapa yg tidak berguna,
seperti hashtag #JokoPacarSINKAJKT48. Kalau untuk hal tidak berguna
seperti itu, Sinka biasanya tidak menghiraukan. Opsi mute dan block di aplikasi
itu menjadi senjata andalan Sinka.
Twit lainnya.
Sinka, ky nya aku jadi
oshihen ke km nich. Km keren banget.
Ada lagi.
Sinka, gift jam tangan itu
dari aku lhoo. Keren ga??
"Oh.. Jam tangan ini ya.."
gumam Sinka riang sambil membuka wadah jam tangan yg tertulis namanya.
"Wih... Ini mahal ya kayaknya..
Ga harus begini sih, tapi terimakasih ya supportnya.." ucap Sinka pelan
pada pemilik akun yg mengirimkan jam tangan itu. Yg tentu saja tidak akan
sampai pesannya ke si pemilik akun. Karena memang Sinka -dan semua member-
tidak dibolehkan menjawab mention.
"Sudah dek?" Naomi menepuk
pundak Sinka dari belakang.
"Ayo ci. Lihat ci, ada yg
ngegift ini.."
Sinka menunjukkan jam tangan itu pada
Naomi. Hanya berbalas senyum, kedua kakak beradik itu memutuskan untuk pulang
dan mengakhiri kegiatan panjang hari itu.
Sinka Juliani. 18 tahun. Pemalu akut
yg jago karate namun kikuk dan panikan. Idola yg dicintai oleh fans-fans nya.
-end-

Tidak ada komentar:
Posting Komentar