Selasa, 11 Maret 2014

Sofa Bernyawa (fanfict inspired by @Yona_JKT48; @Lidya_JKT48; @Viny_JKT48, and Edogawa Rampo)


"Lari Vin!" teriak Lidya sekencang mungkin.

Vinny yang saat itu berada dibelakang  Lidya dan Yona, mempercepat larinya.
 Keadaan mall yang sudah gelap makin mempersulit langkah ketiga gadis muda itu.

"Kak Yon! Tunggu Vinny, dia masih diatas!" kali ini Lidya berteriak pada Yona yang sudah berada di lantai tiga. Lidya menahan larinya ketika menuruni eskalator yang sudah dimatikan powernya saat itu, hingga tak ubahnya seperti tangga biasa.

Vinny yang masih terengah-engah lalu menyusul dibelakang Lidya.

"Si-siapa o-orang itu?" tanya Vinny pada dua temannya itu dengan nafas yang masih berat. Ketiganya kini tengah berlari menelusuri lorong mall lantai tiga menuju eskalator yang menghubungkan ke lantai dua.

"Gak tahu, Vin. Yang penting sekarang kita selamatkan diri dulu!" jawab Yona tidak kalah panik.

Sementara itu, sosok pria kurus, dengan tangan kanan menggenggam sebilah badik yang ia temukan di toko perkakas saat mengejar tiga gadis itu, terus mengejar dan tidak terlihat melambatkan kecepatan larinya.

Kedua matanya terlihat menonjol, karena tulang pipinya yang kurus, terus menatap punggung rapuh ketiga buruannya itu. Nafas pria itu tidak karuan, seiring dengan genggamannya pada badik yang semakin erat.

Nyawa ketiga gadis itu dalam bahaya. Bahaya yang sangat besar.


***


Dua jam sebelumnya..

"Eh, kamu tahu charger handphone ku ada dimana ya?" tanya Vinny.

"Sudah aku kembalikan kan? Tadi kamu pake di meja rias, masa lupa?" ketus Lidya.

"Ketinggalan deh kayaknya.. Gimana dong? Temenin ambilin ke atas yuk.."

"Enggak! Besok aja sekalian..."

"Tapi besok aku ga ada jadwal theater, Lid.. Besok aku harus ikut study tour sekolah.. Kalo ga diambil sekarang, mau ngecharge hape pake apa coba?"

"Nyonya Vinny, tapi mall sudah dimatikan semua tuh lampu-lampunya. Sudah gelap tuh didalem."

"Nggak papa, Lid. Cuma sebentar deh janji."

"Ada apa sih?" Yona yang sedari tadi sibuk menerima telpon dari orang tua nya, kini ikut penasaran dengan perbincangan Vinny dan Lidya saat itu.

"Chargerku ketinggalan di theater, kak Yon.. Gimana dong ini.."

Sesaat Yona terlihat diam dan menatap kedalam mall yang sudah gelap.

"Tapi, ntar kalau taksinya datang? Kan barusan sudah pesan taksi."


"Iya, sebentar doang kok kak Yon. Ayolah.."

"Cepetan lho ya.."

"Sip, iya kak Yon."

Yona akhirnya, meski dengan sedikit ketakutan, mau mengantar Vinny masuk lagi kedalam mall.

"Kamu gimana Lid? Nunggu taksi diluar sini yah?"

"AWAS AJA KALAU KAK YONA BERANI NINGGALIN AKU DISINI SENDIRIAN...."

"Hahaha, yaudah ayo ikut kedalam!"

"Dasar Lid.... Tadi katanya nggak mau anterin."

"Yeee, lebih nggak mau lagi kalau ditinggal sendirian malem-malem gini keleus.."

Yona, Vinny, dan Lidya akhirnya memberanikan diri masuk kedalam mall yang sudah hampir gelap total itu. Suasana mall ketika jam operasionalnya dibanding dengan saat ini, sangat berbeda jauh. Mall yang biasanya hiruk pikuk dengan berbagai macam suara, mulai dari percakapan antar pengunjung mall hingga background musik dari bermacam toko yang seakan berlomba siapa yang paling berisik, di malam hari begini, mendadak sunyi senyap.
Hanya derap langkah dari ketiga gadis itu yang menggema hampir ke seluruh penjuru mall.

"Serem banget sih.." bisik Vinny pelan.

"Ah elah, tadi siapa yang getol minta balik lagi kedalam mall?" timpal Lidya.

"Udah ah, ayo cepetan jalannya. Cepet sampe theater, cepet keluar lagi dari sini." ujar Yona menengahi.

Tak pelak, kini suara gema langkah kaki ketiga gadis itu terdengar semakin cepat ritme nya, karena mereka bertiga kini setengah berlari.

"Ngomong-ngomong, sofa baru yang ada di backstage itu enak banget yah. Siapa yang beli sofa itu? Kak manajer?" tanya Vinny memecah kesunyian diantara mereka bertiga.

"Nggak tahu ya. Katanya sih itu gift dari fans." Lidya setengah yakin menjawab.

"Wih.. Ada yang ngegift sofa?! Gile.. Terus, gift buat siapa tuh sofa?" sambung Yona penasaran.

"Nah itu uniknya, gift itu bukan ditujukan ke member tertentu. Di kartunya, itu gift untuk "jkt48" gitu doang. Makanya, sama kak manajer, sofa itu ditaruh di backstage, lumayan lah ya, daripada yang lama, cuma kursi kayu panjang yang jadi tempat duduk di backstage." jawab Lidya lagi.

"Iya tuh, enak banget sofanya, besar banget juga. Dipake tidur dua orang juga muat, haha. Ya kan, waktu itu si Acha sama Nadila tidur sebelahan di sofa." ujar Vinny menahan ketawa.

"Yee, itu kan soalnya mereka berdua pada kurus-kurus, jadinya pada muat tidur berdua." jawab Lidya asal.

Tawa renyah kemudian menggema pelan di lantai empat, tempat mereka berada sekarang.

"Udah hayuk, cepet masuk theater, cepet diambil, terus cepet keluar." perintah Yona sambil mengeluarkan kunci duplikat untuk teralis dan pintu theater. Memang seluruh member jkt48 masing-masing diberi satu duplikat kunci theater.

Vinny kemudian sesegera mungkin membuka pintu theater yang sudah dibuka kuncinya oleh Yona. Disusul kemudian Lidya yang masuk dibelakang Vinny, lalu Yona yang terakhir.

Theater terasa seperti menelan keberadaan mereka bertiga. Selambu tebal yang biasa menutupi jendela juga sudah tertutup rapat, tidak meninggalkan celah sedikitpun untuk cahaya dari luar bisa masuk kedalam.

Vinny kemudian menyalakan satu-satunya lampu yang bisa dihidupkan saat tengah malam, lampu lorong tengah menuju ke panggung. Hanya lampu itu yang terhubung ke genset mall, karena sesuai policy dari mall tersebut, pasokan listrik utama dari mall akan dimatikan diatas jam sebelas malam. Pasokan listrik cadangan hanya disediakan media genset.

Cahaya cukup terang kemudian menyelimuti lorong theater. Membuat ketiga gadis itu sedikit lega.
Meski cahaya lampu itu cukup terang untuk lorong, tapi nyatanya tidak cukup banyak menerangi ruang backstage.

Begitu melangkah ke dalam backstage, suasana kembali temaram..
Membuat nyali ketiga gadis itu kembali menyusut.

"Gelap yah.."

"Iyalah, sudah malem juga.." Lidya mulai gemas dengan komentar-komentar pengusir panik yang diucapkan oleh Vinny.

"Itu kan? Ayo cepet diambil Vin." sekali lagi Yona memerintah Vinny untuk bergegas mengambil charger hape miliknya yang saat ini sedang ditunjuk oleh Yona dengan bantuan senter kecil dari hapenya.

Secepat kilat Vinny melangkah ke arah meja rias, mengambil charger dari soket listrik disamping meja rias itu, lalu kembali ke tempat Lidya dan Yona berdiri menunggunya.

"Hufh... Ayo, kita keluar dari sini."

"Bentar kak Yon. Tolong dong arahin senter tadi, aku mau gulung kabel charger ini dulu," pinta Vinny ke Yona.

"Oke. Oke.."

Dengan sabar Yona mengarahkan kembali senter hapenya kearah tangan Vinny yang sibuk menggulung kabel charger.

Cahaya senter yang diarahkan tinggi ke tangan Vinny ternyata juga menyapu hampir separuh dari ruang backstage. Menerangi sebagian dari meja rias. Menerangi sedikit dari deretan gantungan baju-baju show jkt48. Dan sisa cahaya senter tadi juga mengenai sofa besar di seberang meja rias.

Sisa cahaya yang tepat mengenai sedikit bagian sandaran tangan sebelah kiri dari sofa besar itu.

Sisa cahaya yang seketika itu juga mengenai sesuatu yang muncul dari pinggir sandaran tangan sofa itu.. Sesuatu yang mampu membuat Lidya yang tengah memandang sofa itu, terbujur kaku ditempatnya berdiri sekarang..

Sesuatu, berbentuk bundar, tengah beradu mata dengan Lidya. Kepala manusia, kurus, dengan mata seperti menonjol, terlihat janggal menyembul dari samping sandaran tangan pada sofa.

Lidya kehilangan suaranya..


***


Ketiga gadis itu masih berlari melintasi deretan toko di lantai tiga yang sudah gelap, ketika kemudian Vinny memerintahkan Lidya dan Yona untuk berhenti berlari.

"Kenapa Vin?" tanya Lidya terengah-engah.

"Orang itu... Dia nggak ada dibelakang kita!"

Lidya dan Yona otomatis memicingkan mata, menatap menembus gelap jauh ke belakang mereka, mencoba untuk menangkap sosok kurus kering yang mengejar mereka.

Dan benar, sosok itu sudah tidak terlihat.

"Kemana?"

"Apa dia hantu?" suara Lidya terdengar bergetar saking takutnya.

"Telpon polisi.. Polisi!" Yona sepertinya menjadi satu-satunya diantara mereka bertiga yang masih bisa berpikir jernih pada situasi tersebut.

Hingga pada akhirnya, polisi datang bersama manajer ketiga gadis itu, menutup horor yang dialami ketiga gadis malam itu.

Polisi menyusur tiap sudut mall yang kini sudah dihidupkan kembali aliran listriknya oleh pengelola mall yang juga datang bersama polisi.

Satu jam kemudian, situasi dapat dikendalikan dengan ditangkapnya sosok kurus kering yang tadi meneror Lidya, Yona, dan Vinny. Ketiganya bernafas lega. 

Horor malam itu berakhir.


***


Pelaku penyerangan itu teridentifikasi bernama Dul Gani. Seorang pengrajin mebel. Cukup disegani di daerahnya.

Sosoknya memang kurus, seperti tidak terawat. Dengan muka lonjong, dan tulang pipi yang menonjol sehingga kedua bola matanya tampak seperti selalu melotot.

Dia sebenarnya seorang pengrajin mebel, pembuat kursi, yang cukup disegani. Banyak pesanan kursi yang datang padanya.

Menurut pengakuannya kepada polisi, segala ide dari perbuatan gilanya itu datang dari sebuah buku. Karya Edogawa Rampo. Dia merasa memiliki banyak kesamaan dengan tokoh pada salah satu cerita karya Rampo yang berjudul 'Kursi Bernyawa'.

Dia mengaku juga memiliki hasrat dan perasaan yang sama dengan cerita itu, terhadap kursi-kursi dan sofa-sofa buatannya. Dia jatuh cinta pada tiap karyanya.

Hingga pada suatu ketika, setelah dia menyelesaikan membaca cerita itu, timbul ide gilanya untuk meniru. Dengan kemampuan dan kredibilitasnya sebagai pengrajin handal, tentu itu bukan suatu yang susah. Jika didalam cerita, ide 'Kursi Bernyawa' itu hanya sebuah fiksi, dia ingin merasakannya di dunia nyata.

Lalu mulailah Dul Gani bekerja siang malam dan bahkan sampai melewatkan makan dan tidur untuk mengerjakan 'belahan hati' nya. Bayangan-bayangan sebuah mahakarya terus berputar di angan-angannya. Sofa ini harus sempurna.

Tiga bulan total waktu yang dia habiskan untuk melahirkan mahakaryanya, hampir tanpa makan dan tidur. Mahakarya itu berbentuk sofa, besar, lebar, lembut namun tak terlalu lembut, berlapis kulit kualitas kelas satu, kokoh, dan sempurna.

Hanya satu yang tidak orang kira, sofa itu juga merupakan 'peti mati' yang Dul Gani buat untuk dirinya sendiri. Dia membuat rongga yang cukup untuk dirinya masuk ke dalam sofa. Kepala dan badan masuk ke tempat sandaran kursi, dan bagian kakinya bertempat di bantalan duduk sofa itu. Mengubur secara sempurna tubuh Dul Gani. Tidak lupa juga dia membuat lubang kecil untuknya mendengar suasana diluar persembunyiannya. Dan sedikit lubang yang tidak terlihat dari luar untuk tempatnya mendapat udara sekaligus celah mengintip.

Kulit kualitas satu, dan busa serta pegas yang juga kelas satu, membuat penyamaran yang begitu sempurna bagi tubuh kurus Dul Gani untuk bersembunyi di dalamnya.

Orang diluar, tak akan tahu bahwa dibalik kulit sofa dan busa itu, ada daging manusia. Hidup, dengan urat dan nadi yang masih mengalir darah, dengan jantung yang masih berdegup, dengan telinga yang mendengarkan apa saja yang terjadi diluar, dengan hembusan nafas yang diatur sedemikian rupa agar tidak terdengar. Kursi sofa itu menyembunyikan seorang psikopat sakit didalamnya.

Bertahun-tahun karir sebagai pengrajin kursi sudah dilalui Dul Gani, tapi jelas, sofa yang ini adalah yang paling spesial. Bahkan dia masih bisa membuat rongga di dalam kursi itu untuk keperluan hidupnya seperti rongga untuk menaruh beberapa biskuit dan air minum, serta rongga untuk meletakkan tas karet sebagai wadah kebutuhan alami nya.

Sofa itu sudah berada di dalam backstage jkt48 selama hampir sebulan, dan hampir sebulan itu pula Dul Gani menjalani hidup sebagai setan. Bersembunyi dalam kegelapan, keluar persembunyian saat suasana sepi malam hari, untuk mengambil dan mencuri beberapa keperluan makan dan air. Atau sekedar ke kamar kecil di tengah malam. Sampai pada malam itu, ketika matanya tidak sengaja bertemu dengan mata Lidya. 
Semua kedok nya terbongkar. 
Mahakaryanya terancam. 
Belahan jiwanya terancam.

Lalu polisi sampai pada pertanyaan, kenapa jkt48..

Dul Gani awalnya tidak menjawab. Beberapa paksaan dari polisi tidak juga mampu membuatnya berbicara. Pukulan, atau beberapa model siksaan ringan, dilakukan penyidik untuk memaksanya berbicara tentang motifnya kenapa dia melaksanakan aksinya dengan menarget jkt48.

Beberapa jam dilalui sia-sia hanya untuk menunggu Dul Gani berbicara.

Hingga pada suatu menit, dia berbicara. Dengan suara yang tidak terlalu keras, mungkin menahan sakit karena dua giginya lepas akibat pukulan dari penyidik.

Kata-kata yang keluar dari mulutnya tidak banyak, tapi mampu membuat manajer jkt48 yang saat itu juga berada di ruang penyidik, berkeringat dingin dan shock. Berkali-kali sang manajer menatap ke arah tembok dengan tatapan kosong, sambil dia berbicara di telepon dengan Haruka yang saat ini sudah berada di bandara, barusan landing dari Jepang. Haruka memang sebulan terakhir ini berada di Jepang untuk urusan pekerjaan dia dengan akb48, sekaligus mengurus visa miliknya.

Interograsi Dul Gani telah selesai malam itu. Polisi dan penyidik sudah mendapatkan cukup bukti dan testimoni motif dari Dul Gani untuk menjebloskannya kedalam penjara untuk waktu yang sangat lama.

Sang manajer, saat ini tengah menyetir mobil ke bandara, menjemput Haruka. Bibir nya masih menggumamkan kalimat-kalimat syukur, sekaligus kalimat-kalimat tidak jelas, seperti : "untung saja", atau "hampir saja", atau "bagaimana kalau", atau "kalau saja", dan kalimat-kalimat bernada lega bercampur takut luar biasa. Bersyukur bahwa Haruka sedang berada di Jepang sebulan terakhir ini.

Sang manajer belum bisa lepas dari shock yang luar biasa akibat kata-kata dari Dul Gani. Sedikit tapi penuh dengan suara setan didalamnya.

Kalimat "Saya dengar kalau kulit orang jepang sangat halus, saya ingin menyempurnakan belahan jiwa saya dengan kulit orang jepang" yang diucapkan Dul Gani ketika di kantor polisi, berdengung tak henti di pikiran sang manajer.....