Akhir-akhir ini aku
asyik dengan hobi baruku, yaitu menulis fiksi. Kegiatan yang sangat
menyenangkan menurutku. Dimana kita bisa menciptakan dunia kita sendiri,
mengatur jalannya hari-hari didalam dunia kita itu. Menciptakan sesuatu yang
lebih indah daripada yang pernah kita alami.
Berbeda dengan proses
tulisan-tulisanku sebelumnya yang mengharuskan aku untuk keluar dari rumah
untuk mendapatkan hal-hal apa saja yang akan aku masukkan kedalam lembar-lembar
tulisan.
Menulis fiksi ini
seakan kita berada dalam dunia kedua selain dunia nyata kita.
Tapi juga bukan berarti
menjadi penulis cerita fiksi membuat kita menjadi orang yang lebih suka
bermimpi dan berkhayal dengan mengesampingkan kehidupan nyata kita. Justru
sebaliknya.
Sama dengan kita
bermain game, kita dapat memperjuangkan apa yang benar-benar kita inginkan,
dengan hasil yang sudah pasti nyata. Karena terkadang di dunia nyata,ketika
kita berusaha mati-matian akan suatu hal, hasil yang akan kita dapatkan belum
lah tentu fair dengan apa yang kita perjuangkan. Banyak hal yang ikut
mempengaruhi.
Menulis fiksi juga
mengesankan kita mempunyai imajinasi yang berlebih dari orang kebanyakan. Dan
itu justru bagus menurutku.
Bukan untuk membela
diri sendiri, tapi orang dengan kemampuan imajinasi, kemampuan berkreativitas,
maupun kemampuan untuk berkhayal sangat diperlukan di dunia kita yang serba
eksakta sekarang ini.
Orang yang berimajinasi
tinggi diperlukan untuk mengimbangi orang berintelektual tinggi dibidang eksak.
Agar dunia ini tercipta keseimbangan.
Siapapun anda yang
berpikir bahwa perkembangan di dunia ini hanya ditentukan oleh otak-otak
dokter,professor,atau insinyur,siap-siaplah hancur dengan pikiran anda
tersebut.
Tidak dipungkiri memang
bahwa dunia membutuhkan intelegensi dari mereka-mereka tersebut. Tapi anda akan
salah besar kalau merendahkan kedudukan para
seniman,illustrator,filsuf,desainer,creator, dan bahkan penulis.
Dunia mencatat beberapa
pengubah-pengubah dunia juga banyak dari kalangan seniman. Sebut saja salah
satu contoh seniman pengubah dunia yang palin bersinar,yaitu Leonardo Da Vinci.
Anda bodoh kalau tidak
menganggap Da Vinci dengan segala yang sudah ditemukannya bukan termasuk salah
satu pengubah terbesar terhadap dunia yang kita tinggali saat ini.
Ada juga
pengubah-pengubah dunia dari bidang kreativitas yang lain seperti yang
dilakukan kelompok The Beattles, Michael Jackson, Elvis Preasley, dan hingga
era Deep Purple serta Nirvana.
Contoh teranyar yang
dari imajinasinya berhasil mengubah dunia adalah salah satu ‘bunda’ dari para
penulis baru, yaitu JK Rowling. Sebelum dia muncul dengan Harry Potter
nya,dunia tidak terlalu memandang serius dunia tulis menulis fiksi. Ketika itu
dunia lebih memilih bacaan-bacaan yang lebih serius seperti auto-biografi atau
bahkan masih ada yang memilih buku-buku filosofi sebagai bacaannya.
Lalu coba kita melihat
kedalam negara kita sendiri. Sebagai negara yang memang sedang berkembang, pola
pikir di masyarakatnya adalah bagaimana untuk mencapai tingkat pendidikan
setinggi-tingginya. Kreativitas? Imajinasi? Mereka tidak terlalu peduli dengan
pengembangan-pengembangan itu. Yang penting pinter,punya gelar pendidikan
sebanyak-banyaknya,sudah cukup.
Coba lihat beberapa
contoh dokter yang ada disekitar kita. Untuk anda yang bukan bekerja sebagai dokter,
pernah tidak merasakan ketika anda pergi ke si dokter X, anda tidak dilayani
dengan semestinya dokter melayani pasien.
Entah itu dari tata
bicara si dokter X itu yang terkesan asal-asalan, terkesan menggurui pasien,
sampai ada beberapa tingkah laku yang menunda untuk memeriksa pasien pada jam-jam
sekian karena beliau sedang makan atau tidur!
Cara pandang yang tidak
pernah berandai-andai ‘seandainya aku pasiennya’ yang dimiliki beberapa contoh
oknum dokter tersebut juga membuktikan bahwa memang dia otaknya
pintar,cerdas,mampu menghafal beribu-ribu jenis penyakit beserta gejala dan
obatnya,tapi sangat lemah dalam merasakan. Tidak peka terhadap
pertanyaan-pertanyaan yang mengandung kata ‘seandainya’.
Tidak hanya berlaku
untuk beberapa orang pintar dari latar belakang kedokteran, di dunia industri
dan di dunia bisnis bahkan lebih banyak lagi. Mereka orang pintar,cerdas,tapi
sayang kepekaan mereka terhadap kata ‘seandainya’ juga sangat lemah.
Coba saja kalau
sebagian besar pengusaha kaya raya itu mau berpikir tentang ‘seandainya’, kita
tidak lagi melihat banyak pengangguran,tidak lagi menemukan
gelandangan-gelandangan di pinggir jalan,tidak lagi menemukan anak-anak
berperut buncit karena kekurangan gizi.
Aku juga tidak mencoba
untuk mengagungkan para pekerja imajinasi, kelemahan paling terlihat dari sosok
seniman-seniman kita itu adalah seringnya mereka berjalan dengan hanya
mengandalkan sensitivitas mereka,dan jarang sekali intuisi logika mereka
digunakan. Terbukti hanya ada beberapa saja seniman di negara kita yang
hidupnya termasuk ke golongan kaya raya,meskipun sebenarnya ada jutaan seniman
yang karyanya sangat bagus.
Kembali ke cerita
tentang fiksiku tadi, saat aku menuliskan bab ini fiksiku tengah berjalan
sepanjang 80 halaman. Masih sedikit sekali memang, tapi bagiku itu tidak mudah,
apalagi itu tulisan cerita fiksi pertamaku. Semakin banyak halaman yang
tertulis, aku semakin salut dengan penulis-penulis fiksi seperti bunda JK
Rowling. Bagaimana dia mengalahkan kemalasan-kemalasan untuk mencari plot
cerita baru,untuk mencari nama-nama dari berbagai tokoh dan tempat dalam cerita
fiksinya (dan menurutku itu adalah bagian tersulit dalam menulis fiksi!).
Terakhir, mungkin
sedikit berbagi tips untuk penulis-penulis fiksi baru sepertiku, ternyata fiksi
itu bukan hanya sekedar cerita yang bergantung pada khayalan dan imajinasi
saja, tapi lebih terpenting lagi adalah bagaimana kita bisa menuangkan
pengalaman-pengalaman pribadi kita sebagai dasarnya dengan disertai
tambahan-tambahan lain yang menurut kita bakal bisa memperkaya cerita fiksi
kita.
Jadi, bagaimanapun, mau
kita sedang menulis cerita-cerita slice
of life,fiksi,ataupun komedi, Let’s
Go Out and Find Your Own Experiences!