"Abang, cantik
ya..cantik..cantik,"
Sekilas perhatianku teralihkan oleh
ucapan Kak Dana, yang asyik memperhatikan televisi di ruang keluarga. Sejenak
aku tinggalkan laporan-laporan penelitian di meja, dan menghampiri Kak Dana.
Aku biasa memanggilnya Ade. Dan dia memanggilku Abang. Tidak ada yang aneh
memang, kecuali status adik-kakak antara aku dan Kak Dana sebenarnya
berkebalikkan.
Kak Dana, kakak kandungku, dua tahun
lebih tua dariku. Tapi dia lebih suka menganggapku sebagai kakak, dan
menempatkan dirinya sebagai adik. Mungkin alasannya agar Kak Dana bisa bebas
bermanja di keluarga ini. Memang kami hanya dua bersaudara, dan tinggal bersama
ibu. Ayah kami sudah tiada.
Kak Dana adalah seorang pengidap Down
Syndrom. Oleh karena itu, dia butuh orang yang memperhatikannya setiap hari.
Dan itu tugasku yang dengan senang hati aku jalani setiap hari.
"Kenapa Ade? Siapa yang
cantik?" tanyaku seraya duduk di sofa depan televisi menemani Kak Dana.
"Itu! Banyak, cantik
semuanya."
Aku coba memperhatikan apa yang
dibilang cantik oleh Kak Dana. Setelah memasang kacamataku -dan ya, mataku
minus parah- baru aku tahu, yang sedang dibicarakan Kak Dana adalah sebuah
girlband. Aku tidak tahu apa namanya, tapi cukup unik menurutku. Anggota mereka
banyak sekali. Sepuluh orang lebih, mungkin.
Aku tidak terlalu memperhatikan
televisi dan girlband itu lebih jauh. Saat ini aku lebih mengutamakan menemani
Kak Dana saja. Apalagi nasi soto yang sudah disiapkan ibu tadi sebelum beliau
berangkat kerja, masih belum disentuh sama sekali oleh Kak Dana.
"Iya cantik ya De, apa itu
namanya?" kembali aku melontarkan pertanyaan, tapi kali ini dibarengi
dengan satu sendok nasi soto. Kak Dana belum sarapan pagi ini.
"Apa ya...
Jekate..mmmmh..." Kak Dana mencoba menjawab pertanyaanku barusan dengan
mulut penuh nasi soto.
"Ahaha, maaf De, maaf. Ditelan
dulu nasinya baru jawab pertanyaan Abang,"
Kak Dana sebenarnya orang baik. Aku
tahu itu. Dia meskipun seorang Down Syndrom, tapi tidak pernah ingin merepotkan
orang lain. Dia bisa pergi ke kamar mandi sendiri, kadang makan pun dia mampu
ambil sendiri. Aku tumbuh bersama Kak Dana, aku mengenalnya dari kecil.
"Iya, itu tadi..namanya jekate!
Jekate terus ada nomornya..angka.angka. Nggak tahu!"
"Jekate.. Ade suka memangnya? Lagunya
atau orangnya?"
"Lagunya! Orangnya bagus juga.
Bagus."
Aku tidak tahu darimana asalnya
perasaanku saat ini, tapi aku merasa ada yang beda dengan Kak Dana hari ini.
Dia lebih terlihat ceria, dan bisa merespon pertanyaanku dengan baik. Mood Kak
Dana sedang bagus, dan aku tidak menyiakan kesempatan ini untuk lebih dekat
dengan kakakku satu-satunya itu.
Lebih dari dua jam aku duduk menemani
Kak Dana di depan televisi. Acara musik yang tadi menampilkan girlband itu juga
sudah selesai dari tadi. Dan aku harus
kuliah siang. Tidak tega sebenarnya meninggalkan Kak Dana sendirian dirumah.
Kuliah hari ini nyaris sama seperti
biasanya, membosankan. Dan ketika hari berjalan membosankan seperti ini, aku
biasanya mampir ke toko musik di mall dekat kampus. Toko itu sudah seperti
rumah keduaku. Penjaga tokonya pun sudah hafal dan sekarang menjadi teman
baikku.
Tidak seperti biasanya, toko itu
tampak sibuk dengan beberapa kardus yang sepertinya baru datang.
"Hey, sibuk? CD baru ya?"
sapaku setelah aku mendapati wajah Toni, penjaga toko ini dan juga sahabatku,
tengah sibuk membongkar kardus-kardus itu.
"Ah iya, Restu. CD baru. Baru
datang tadi malam. Heran, biasanya nggak sebanyak ini."
Aku mencoba untuk membantunya membuka
kardus itu, sekaligus penasaran CD siapa yang ada didalamnya. Siapapun
musisinya, pasti dia orang yang optimis sekali. Penjualan CD sebenarnya sedang
tidak bagus, tapi dia berani produksi sebanyak ini.
"JKT..48? Baru ya?" ujarku
sambil memegang satu CD warna kuning bertuliskan Heavy Rotation itu.
"Lho, nggak tahu? Mereka lagi
booming akhir-akhir ini." Toni menjelaskan lalu mengeluarkan beberapa
tumpuk CD bertuliskan sama, tapi covernya berwarna putih.
"Ya...kayanya tadi si Ade bilang
Jekate.. Mungkin ini ya.."
"Pastilah. Nggak ada lagi kan
yang namanya jekate selain mereka ini," sela Toni. "Ngomong-ngomong
gimana kabar kakakmu itu?"
"Oh Kak Dana baik kok. Tadi di
televisi dia sempat bilang suka sama girlband ini. Mungkin aku bakal belikan
dia satu CD ini deh. Sekalian CD Depapepe pesananku kemarin, Ton."
"Oh, Depapepe nya ada di samping
meja kasir. Periksa dulu aja. Oh satu lagi, Res, JKT48 itu bukan girlband,
mereka idol group. Lain kali hati-hati lho, fans mereka sangat sensitif tentang
masalah girlband-idol group ini."
Singkat cerita, aku pulang kerumah
dengan membawa dua CD musik. Satu untukku dan satu untuk Kak Dana. Dan dari
situ pertama kalinya aku tahu apa itu JKT48.
***
"Abang! Jekate!"
Teriakan Kak Dana kembali memecah
keheningan rumah pagi itu.
"Iya sebentar De, Abang lagi
masak nasi goreng. Kalau ditinggal nanti gosong." jawabku dengan setengah
berteriak.
"Ahh!"
Ada nada kecewa terdengar dibalik
kata 'ah' yang baru saja Kak Dana ucapkan. Mau bagaimana lagi, aku tidak sedang
dalam kondisi yang bebas untuk menemani dia menonton televisi.
Tiba-tiba tanpa diduga, volume
televisi di ruang tengah mendadak menjadi besar. Jelas sekali terdengar alunan
nada dengan beat cepat. Dan sebait lirik yang terdengar di telingaku
samar-samar. Hanya jelas pada kata "River".
"Hehehe, bagus kan Bang! Bagus!
Bagus!" teriak Kak Dana kembali dari ruang tengah.
Aku hanya tersenyum melihat Kak Dana
saat ini tengah gembira. Dia jadi memiliki kegiatan baru, jadi memiliki
kesibukkan baru, dan memiliki tokoh idola baru. Setidaknya itu bagus untuk
perkembangan mental Kak Dana. Itu yang aku pelajari di mata kuliahku,
psikologi.
"Nasi goreng sudah siap, De! Ayo
sarapan dulu, kecilkan dulu suara televisinya."
"Lihat Abang. Lihaat!"
Belum selesai aku menaruh sepiring
nasi goreng plus telur dadar di depan Kak Dana, Kak Dana tiba-tiba menunjukkan
padaku satu CD bergambar empat wanita dengan tulisan "RIVER" di
bagian depan covernya.
"Lho, CD Jekate baru lagi? Dapat
dari siapa De?"
"Ibu. Beli di mall. Sudirman.
Mall!"
Mall? Sudirman? Aku mencoba untuk menangkap
maksud perkataan Kak Dana barusan. Dan kesimpulanku tertuju pada mall f(x)
diseputaran Sudirman sana.
"Lihat Bang. Cantik.
Bagus!"
Sekali lagi Kak Dana mencoba untuk
menunjukkanku sesuatu dari dalam kotak CD itu. Sebuah foto. Foto dengan tulisan
nama Melody. Cantik sekali.
"Tapi ini...nggak tahu!"
Kak Dana kembali melanjutkan kata-katanya dengan menunjuk sebuah kartu yang
berada di belakang foto Melody tadi. Aku tidak tahu apa gunanya, tapi kartu itu
bertuliskan "handshake event".
"Iya, nanti Abang coba cari tahu
apa itu handshake event, sekarang Ade sarapan dulu ya, nanti dingin lho,"
bujukku supaya Kak Dana mau sarapan pagi ini, sebab aku tidak bisa menemaninya
sarapan, hari ini kuliahku jadwal pagi.
Di sela-sela kuliahku, aku sempatkan
untuk mencari tahu tentang apa itu handshake event. Aku baru tahu kalau kartu
yang tadi pagi ditunjukkan Kak Dana adalah tiket untuk sebuah event. Semacam
meet and greet mungkin, aku tidak begitu tahu. Dan kalau benar, Kak Dana bisa
bertemu dengan idola barunya itu. Pikiran-pikiran semacam ini memenuhi kepalaku
sepanjang hari ini.
Tentu saja aku akan mengusahakan
apapun yang bisa membuat Kak Dana senang, itu bagus untuk perkembangan mental
dan kesehatannya. Tapi, Kak Dana juga memiliki masalah dengan keramaian. Kak
Dana tidak terlalu suka dengan keramaian. Itu bisa merusak moodnya. Dan kalau
mood Kak Dana turun, dia bisa saja jadi menyusahkan orang lain.
Malam itu aku coba untuk
mendiskusikannya dengan ibu.
***
Hari ini, aku absen dari kuliah
siang. Aku lebih memilih untuk menemani Kak Dana berbelanja di salah satu mall.
Diluar dugaan, ibu menyetujui usulanku untuk mengajak Kak Dana ikut dalam
handshake event itu.
Dan hari ini, Kak Dana ingin mencari
hadiah yang bisa dia berikan pada Melody, member JKT48 idolanya. Pilihan Kak
Dana jatuh pada boneka. Dia ingin memberikan boneka pada Melody nanti.
Lama kami berdua berputar-putar
mencari boneka yang cocok. Berkali-kali aku coba tawarkan boneka yang menurutku
bagus pada Kak Dana, tapi selalu dia tolak. Dia sepertinya ingin mencari
sendiri boneka yang sesuai dengan hatinya.
Setelah hampir dua jam berada di toko
boneka, Kak Dana akhirnya memilih satu boneka Dumbo -gajah dengan telinga
lebar, tokoh kartun jaman dulu- berukuran tidak terlalu besar, sebagai
persembahannya untuk Melody.
Kak Dana terlihat bahagia dengan
boneka itu. Berkali-kali tangannya mengelus boneka yang memang berbahan halus
itu. Dan sesekali juga tangannya menepis tangan beberapa anak kecil yang ingin
memegang bonekanya itu. Kalau sudah begitu, aku adalah bagian peminta maaf pada
orang tua dari anak kecil yang tadi tangannya ditepis oleh Kak Dana.
Aku senang melihat Kak Dana yang
banyak tersenyum saat ini. Aku tidak peduli dengan tatapan pengunjung mall
lainnya ke arah Kak Dana. Tatapan-tatapan yang acapkali diarahkan pada orang
dengan Down Syndrom. Tatapan antara takut dan risih. Tatapan yang sangat aku
benci itu.
"Ade, kenapa gitu milihnya Dumbo
yang ini? Bukannya tadi ada banyak boneka yang lebih bagus lagi, minnions atau
marsupilami gitu misalnya?" tanyaku sesaat setelah kami berdua berjalan
menuju parkiran mobil di dalam gedung mall itu.
"Nih! Nih! Abang. Nomer
nomer!"
Kak Dana kemudian menunjukkan deretan
nomer, yang berada dibalik telinga Dumbo itu. Sepertinya adalah nomer seri
produk. Disitu tertulis deretan nomer yang cantik, 1100048.
"Oh, jadi ini, ada nomer 48 nya
ya?" ucapku geli lalu tersenyum kearah Kak Dana.
Kak Dana kemudian membalasnya dengan
senyuman lebar, menunjukkan bahwa dia sedang dalam kondisi yang bahagia.
Lalu setelah senyuman itu, aku tidak
ingat apa-apa lagi.
Satu yang samar-samar aku ingat
tentang hari itu adalah suara decit mobil, turunan menikung parkiran mall, dan
satu boneka Dumbo yang sobek.
***
Seminggu setelah itu, aku dibolehkan
untuk keluar sebentar dari rumah sakit. Hari itu dokter membolehkanku untuk
menghadiri pemakaman Kak Dana.
Ibu masih terlihat terpukul atas kejadian
itu. Dua hari sudah Kak Dana pergi. Dia sempat kritis dirumah sakit, tapi tidak
mampu untuk bertahan.
Ramai orang berbaju hitam, ada satu
orang laki-laki yang tidak aku kenal, yang terlihat sibuk membantu pemakaman.
Keluargaku bilang, dia orang yang menabrakku dan Kak Dana. Aku marah, tapi
keluargaku mengatakan dia bertanggung jawab atas semuanya dan sudah meminta
maaf sedalam-dalamnya pada keluarga kami.
Aku berdiri di sebelah sepupuku. Dan
jujur, aku tidak sanggup berada di samping ibu. Ibu terlihat sangat terpukul.
Memeluk erat boneka Dumbo.
"Dia ingin ke handshake event
kan?" tanya sepupuku yang dari tadi mendorong kursi rodaku.
"Ya...."
"Event itu diadakan nanti siang.
Setelah dari sini, aku bisa mengantarmu kesana. Hanya itu yang bisa kita lakukan
saat ini untuk kebahagiaan Mas Dana disana,"
Aku tidak begitu saja menyetujui. Aku
sempat benci dengan JKT48 ini. Gara-gara mereka, Kak Dana jadi seperti ini.
Tapi seketika itu pula
pikiran-pikiran itu luruh saat mendengar penjelasan dari sepupuku, bahwa di
tengah kondisi kritisnya, Kak Dana sempat membisikkan nama 'Melody' dengan
lemah.
Aku tidak tahu apa artinya semua ini,
apa ini berarti Kak Dana sangat menyukai Melody. Aku tidak pernah berada di
tempat para penderita Down Syndrom. Aku tidak pernah mengalaminya. Yang aku
tahu, semua penderita Down Syndrom adalah orang-orang yang total. Mungkin
caranya agak terlalu terburu-buru dan berlebihan, tapi ketika ada sesuatu yang
mereka sukai, mereka tidak segan untuk menaruh hidup mereka pada hal itu.
".....dimana tempat handshake
event itu?"
Aku bertanya dengan sisa-sisa
antusiasme di hari itu.
"Aku akan antar. Di bilangan
Sudirman."
***
Ramai sekali kondisi mall tempat
diadakannya handshake event itu. Kalaupun Kak Dana masih hidup dan bisa kesini,
aku juga tidak yakin dia bakal nyaman dengan antrian seperti ini.
Dengan menggunakan kursi roda yang
didorong oleh sepupuku, aku ikut dalam antrian di line Melody. Beberapa orang
dibelakang dan didepanku sempat berbincang-bincang denganku.
Kebanyakan dari mereka terlihat iba
denganku yang dengan tubuh penuh luka dan kursi roda, masih mau datang ke
handshake event. Sepupuku juga sedikit menjelaskan tentang penyebab kondisiku
dan alasan kenapa aku tetap datang.
Beberapa fans wanita terlihat
meneteskan air mata mendengar cerita sepupuku itu. Semakin banyaklah mata yang
menatapku iba. Aku sendiri tidak terlalu memperhatikannya. Fokusku adalah
memberikan boneka ini pada Melody secepat mungkin, lalu kembali ke rumah sakit.
Setelah hampir seluruh orang di
antrian line Melody mengetahui ceritaku, mereka kemudian memberikan jalan untuk
aku lebih dulu melakukan handshake. Dan seperti yang aku bilang, aku tidak
terlalu peduli dengan event ini.
"Halo, kamu kenapa, lagi sakit ya?" sapa Melody
ramah ketika aku sudah berada di hadapannya.
Sebenarnya aku tidak suka dengan arah
sapaan basa basi ini. Pikiranku terlalu kalut untuk membalas sapaan Melody itu.
"Ini, untuk kamu, Melody.."
ucapku singkat seraya memberikan boneka Dumbo ke Melody.
"Boneka itu sobek, dan sudah
diperbaiki oleh ibuku. Aku harap kamu bisa menyimpannya. Disitu ada harapan dan
kebahagiaan Kak....."
Aku tidak bisa menyelesaikan
kata-kata "Kak Dana" didepan Melody. Aku hanya menunduk dan menangis
hingga akhirnya waktu sepuluh detik milikku sudah habis, dan sekuriti menyuruhku
untuk segera minggir.
"Kenapa Mas Restu? Kenapa nggak
dilanjutkan pesannya ke Melody?" tanya sepupuku sambil mendorong kursi
roda yang aku naiki.
Aku tidak menjawab pertanyaan
sepupuku itu. Tapi samar-samar aku bisa mendengar pertanyaan Melody tentangku
yang dia tanyakan pada orang yang tadi antri dibelakangku. Mungkin orang itu
yang menceritakan pada Melody, aku tidak tahu.
Yang aku tahu, ketika aku tiba di
rumah sakit dan berada di tengah-tengah keluargaku yang masih dalam suasana
berduka, salah seorang sepupu lainnya menunjukkan timeline twitternya yang
penuh dengan ucapan duka dari semua member JKT48.
Terlebih lagi dari Melody. Yang
berkata bahwa dia akan menyimpan sebaik-baiknya boneka Dumbo robek itu.
'Jangan menyerah jika kehilangan
seseorang. Teruslah hidup supaya kamu tetap bisa mengenangnya.'
Aku tersenyum membaca twit Melody
itu. Memang tidak dimention langsung, tapi aku tahu twit itu ditujukan untukku
dan terutama untuk Kak Dana.
Dan ketika sekarang, kondisiku
melemah, dan harus mengakhiri tulisan ini. Aku berjanji akan terus berusaha
hidup, seperti yang dikatakan Melody. Setidaknya untuk menjaga agar kenangan
tentang Kak Dana tidak hilang begitu saja.
~End~
Author by : @PradanaAnandya

