Jumat, 26 Agustus 2016

UNTITLED (Fanfict inspired by @MelodyJKT48)




"Abang, cantik ya..cantik..cantik,"

Sekilas perhatianku teralihkan oleh ucapan Kak Dana, yang asyik memperhatikan televisi di ruang keluarga. Sejenak aku tinggalkan laporan-laporan penelitian di meja, dan menghampiri Kak Dana. Aku biasa memanggilnya Ade. Dan dia memanggilku Abang. Tidak ada yang aneh memang, kecuali status adik-kakak antara aku dan Kak Dana sebenarnya berkebalikkan.

Kak Dana, kakak kandungku, dua tahun lebih tua dariku. Tapi dia lebih suka menganggapku sebagai kakak, dan menempatkan dirinya sebagai adik. Mungkin alasannya agar Kak Dana bisa bebas bermanja di keluarga ini. Memang kami hanya dua bersaudara, dan tinggal bersama ibu. Ayah kami sudah tiada.

Kak Dana adalah seorang pengidap Down Syndrom. Oleh karena itu, dia butuh orang yang memperhatikannya setiap hari. Dan itu tugasku yang dengan senang hati aku jalani setiap hari.

"Kenapa Ade? Siapa yang cantik?" tanyaku seraya duduk di sofa depan televisi menemani Kak Dana.

"Itu! Banyak, cantik semuanya."

Aku coba memperhatikan apa yang dibilang cantik oleh Kak Dana. Setelah memasang kacamataku -dan ya, mataku minus parah- baru aku tahu, yang sedang dibicarakan Kak Dana adalah sebuah girlband. Aku tidak tahu apa namanya, tapi cukup unik menurutku. Anggota mereka banyak sekali. Sepuluh orang lebih, mungkin.

Aku tidak terlalu memperhatikan televisi dan girlband itu lebih jauh. Saat ini aku lebih mengutamakan menemani Kak Dana saja. Apalagi nasi soto yang sudah disiapkan ibu tadi sebelum beliau berangkat kerja, masih belum disentuh sama sekali oleh Kak Dana.

"Iya cantik ya De, apa itu namanya?" kembali aku melontarkan pertanyaan, tapi kali ini dibarengi dengan satu sendok nasi soto. Kak Dana belum sarapan pagi ini.

"Apa ya... Jekate..mmmmh..." Kak Dana mencoba menjawab pertanyaanku barusan dengan mulut penuh nasi soto.

"Ahaha, maaf De, maaf. Ditelan dulu nasinya baru jawab pertanyaan Abang,"

Kak Dana sebenarnya orang baik. Aku tahu itu. Dia meskipun seorang Down Syndrom, tapi tidak pernah ingin merepotkan orang lain. Dia bisa pergi ke kamar mandi sendiri, kadang makan pun dia mampu ambil sendiri. Aku tumbuh bersama Kak Dana, aku mengenalnya dari kecil.

"Iya, itu tadi..namanya jekate! Jekate terus ada nomornya..angka.angka. Nggak tahu!"

"Jekate.. Ade suka memangnya? Lagunya atau orangnya?"

"Lagunya! Orangnya bagus juga. Bagus."

Aku tidak tahu darimana asalnya perasaanku saat ini, tapi aku merasa ada yang beda dengan Kak Dana hari ini. Dia lebih terlihat ceria, dan bisa merespon pertanyaanku dengan baik. Mood Kak Dana sedang bagus, dan aku tidak menyiakan kesempatan ini untuk lebih dekat dengan kakakku satu-satunya itu.

Lebih dari dua jam aku duduk menemani Kak Dana di depan televisi. Acara musik yang tadi menampilkan girlband itu juga sudah selesai dari tadi.  Dan aku harus kuliah siang. Tidak tega sebenarnya meninggalkan Kak Dana sendirian dirumah.
Kuliah hari ini nyaris sama seperti biasanya, membosankan. Dan ketika hari berjalan membosankan seperti ini, aku biasanya mampir ke toko musik di mall dekat kampus. Toko itu sudah seperti rumah keduaku. Penjaga tokonya pun sudah hafal dan sekarang menjadi teman baikku.

Tidak seperti biasanya, toko itu tampak sibuk dengan beberapa kardus yang sepertinya baru datang.

"Hey, sibuk? CD baru ya?" sapaku setelah aku mendapati wajah Toni, penjaga toko ini dan juga sahabatku, tengah sibuk membongkar kardus-kardus itu.

"Ah iya, Restu. CD baru. Baru datang tadi malam. Heran, biasanya nggak sebanyak ini."

Aku mencoba untuk membantunya membuka kardus itu, sekaligus penasaran CD siapa yang ada didalamnya. Siapapun musisinya, pasti dia orang yang optimis sekali. Penjualan CD sebenarnya sedang tidak bagus, tapi dia berani produksi sebanyak ini.

"JKT..48? Baru ya?" ujarku sambil memegang satu CD warna kuning bertuliskan Heavy Rotation itu.

"Lho, nggak tahu? Mereka lagi booming akhir-akhir ini." Toni menjelaskan lalu mengeluarkan beberapa tumpuk CD bertuliskan sama, tapi covernya berwarna putih.

"Ya...kayanya tadi si Ade bilang Jekate.. Mungkin ini ya.."

"Pastilah. Nggak ada lagi kan yang namanya jekate selain mereka ini," sela Toni. "Ngomong-ngomong gimana kabar kakakmu itu?"

"Oh Kak Dana baik kok. Tadi di televisi dia sempat bilang suka sama girlband ini. Mungkin aku bakal belikan dia satu CD ini deh. Sekalian CD Depapepe pesananku kemarin, Ton."

"Oh, Depapepe nya ada di samping meja kasir. Periksa dulu aja. Oh satu lagi, Res, JKT48 itu bukan girlband, mereka idol group. Lain kali hati-hati lho, fans mereka sangat sensitif tentang masalah girlband-idol group ini."
Singkat cerita, aku pulang kerumah dengan membawa dua CD musik. Satu untukku dan satu untuk Kak Dana. Dan dari situ pertama kalinya aku tahu apa itu JKT48.

***

"Abang! Jekate!"

Teriakan Kak Dana kembali memecah keheningan rumah pagi itu.

"Iya sebentar De, Abang lagi masak nasi goreng. Kalau ditinggal nanti gosong." jawabku dengan setengah berteriak.

"Ahh!"

Ada nada kecewa terdengar dibalik kata 'ah' yang baru saja Kak Dana ucapkan. Mau bagaimana lagi, aku tidak sedang dalam kondisi yang bebas untuk menemani dia menonton televisi.

Tiba-tiba tanpa diduga, volume televisi di ruang tengah mendadak menjadi besar. Jelas sekali terdengar alunan nada dengan beat cepat. Dan sebait lirik yang terdengar di telingaku samar-samar. Hanya jelas pada kata "River".

"Hehehe, bagus kan Bang! Bagus! Bagus!" teriak Kak Dana kembali dari ruang tengah.

Aku hanya tersenyum melihat Kak Dana saat ini tengah gembira. Dia jadi memiliki kegiatan baru, jadi memiliki kesibukkan baru, dan memiliki tokoh idola baru. Setidaknya itu bagus untuk perkembangan mental Kak Dana. Itu yang aku pelajari di mata kuliahku, psikologi.

"Nasi goreng sudah siap, De! Ayo sarapan dulu, kecilkan dulu suara televisinya."

"Lihat Abang. Lihaat!"

Belum selesai aku menaruh sepiring nasi goreng plus telur dadar di depan Kak Dana, Kak Dana tiba-tiba menunjukkan padaku satu CD bergambar empat wanita dengan tulisan "RIVER" di bagian depan covernya.

"Lho, CD Jekate baru lagi? Dapat dari siapa De?"

"Ibu. Beli di mall. Sudirman. Mall!"

Mall? Sudirman? Aku mencoba untuk menangkap maksud perkataan Kak Dana barusan. Dan kesimpulanku tertuju pada mall f(x) diseputaran Sudirman sana.

"Lihat Bang. Cantik. Bagus!"

Sekali lagi Kak Dana mencoba untuk menunjukkanku sesuatu dari dalam kotak CD itu. Sebuah foto. Foto dengan tulisan nama Melody. Cantik sekali.

"Tapi ini...nggak tahu!" Kak Dana kembali melanjutkan kata-katanya dengan menunjuk sebuah kartu yang berada di belakang foto Melody tadi. Aku tidak tahu apa gunanya, tapi kartu itu bertuliskan "handshake event".

"Iya, nanti Abang coba cari tahu apa itu handshake event, sekarang Ade sarapan dulu ya, nanti dingin lho," bujukku supaya Kak Dana mau sarapan pagi ini, sebab aku tidak bisa menemaninya sarapan, hari ini kuliahku jadwal pagi.

Di sela-sela kuliahku, aku sempatkan untuk mencari tahu tentang apa itu handshake event. Aku baru tahu kalau kartu yang tadi pagi ditunjukkan Kak Dana adalah tiket untuk sebuah event. Semacam meet and greet mungkin, aku tidak begitu tahu. Dan kalau benar, Kak Dana bisa bertemu dengan idola barunya itu. Pikiran-pikiran semacam ini memenuhi kepalaku sepanjang hari ini.

Tentu saja aku akan mengusahakan apapun yang bisa membuat Kak Dana senang, itu bagus untuk perkembangan mental dan kesehatannya. Tapi, Kak Dana juga memiliki masalah dengan keramaian. Kak Dana tidak terlalu suka dengan keramaian. Itu bisa merusak moodnya. Dan kalau mood Kak Dana turun, dia bisa saja jadi menyusahkan orang lain.
Malam itu aku coba untuk mendiskusikannya dengan ibu.

***

Hari ini, aku absen dari kuliah siang. Aku lebih memilih untuk menemani Kak Dana berbelanja di salah satu mall. Diluar dugaan, ibu menyetujui usulanku untuk mengajak Kak Dana ikut dalam handshake event itu.

Dan hari ini, Kak Dana ingin mencari hadiah yang bisa dia berikan pada Melody, member JKT48 idolanya. Pilihan Kak Dana jatuh pada boneka. Dia ingin memberikan boneka pada Melody nanti.

Lama kami berdua berputar-putar mencari boneka yang cocok. Berkali-kali aku coba tawarkan boneka yang menurutku bagus pada Kak Dana, tapi selalu dia tolak. Dia sepertinya ingin mencari sendiri boneka yang sesuai dengan hatinya.

Setelah hampir dua jam berada di toko boneka, Kak Dana akhirnya memilih satu boneka Dumbo -gajah dengan telinga lebar, tokoh kartun jaman dulu- berukuran tidak terlalu besar, sebagai persembahannya untuk Melody.

Kak Dana terlihat bahagia dengan boneka itu. Berkali-kali tangannya mengelus boneka yang memang berbahan halus itu. Dan sesekali juga tangannya menepis tangan beberapa anak kecil yang ingin memegang bonekanya itu. Kalau sudah begitu, aku adalah bagian peminta maaf pada orang tua dari anak kecil yang tadi tangannya ditepis oleh Kak Dana.

Aku senang melihat Kak Dana yang banyak tersenyum saat ini. Aku tidak peduli dengan tatapan pengunjung mall lainnya ke arah Kak Dana. Tatapan-tatapan yang acapkali diarahkan pada orang dengan Down Syndrom. Tatapan antara takut dan risih. Tatapan yang sangat aku benci itu.

"Ade, kenapa gitu milihnya Dumbo yang ini? Bukannya tadi ada banyak boneka yang lebih bagus lagi, minnions atau marsupilami gitu misalnya?" tanyaku sesaat setelah kami berdua berjalan menuju parkiran mobil di dalam gedung mall itu.

"Nih! Nih! Abang. Nomer nomer!"

Kak Dana kemudian menunjukkan deretan nomer, yang berada dibalik telinga Dumbo itu. Sepertinya adalah nomer seri produk. Disitu tertulis deretan nomer yang cantik, 1100048.

"Oh, jadi ini, ada nomer 48 nya ya?" ucapku geli lalu tersenyum kearah Kak Dana.

Kak Dana kemudian membalasnya dengan senyuman lebar, menunjukkan bahwa dia sedang dalam kondisi yang bahagia.

Lalu setelah senyuman itu, aku tidak ingat apa-apa lagi.

Satu yang samar-samar aku ingat tentang hari itu adalah suara decit mobil, turunan menikung parkiran mall, dan satu boneka Dumbo yang sobek.

***

Seminggu setelah itu, aku dibolehkan untuk keluar sebentar dari rumah sakit. Hari itu dokter membolehkanku untuk menghadiri pemakaman Kak Dana.

Ibu masih terlihat terpukul atas kejadian itu. Dua hari sudah Kak Dana pergi. Dia sempat kritis dirumah sakit, tapi tidak mampu untuk bertahan.

Ramai orang berbaju hitam, ada satu orang laki-laki yang tidak aku kenal, yang terlihat sibuk membantu pemakaman. Keluargaku bilang, dia orang yang menabrakku dan Kak Dana. Aku marah, tapi keluargaku mengatakan dia bertanggung jawab atas semuanya dan sudah meminta maaf sedalam-dalamnya pada keluarga kami.

Aku berdiri di sebelah sepupuku. Dan jujur, aku tidak sanggup berada di samping ibu. Ibu terlihat sangat terpukul. Memeluk erat boneka Dumbo.

"Dia ingin ke handshake event kan?" tanya sepupuku yang dari tadi mendorong kursi rodaku.

"Ya...."

"Event itu diadakan nanti siang. Setelah dari sini, aku bisa mengantarmu kesana. Hanya itu yang bisa kita lakukan saat ini untuk kebahagiaan Mas Dana disana,"

Aku tidak begitu saja menyetujui. Aku sempat benci dengan JKT48 ini. Gara-gara mereka, Kak Dana jadi seperti ini.

Tapi seketika itu pula pikiran-pikiran itu luruh saat mendengar penjelasan dari sepupuku, bahwa di tengah kondisi kritisnya, Kak Dana sempat membisikkan nama 'Melody' dengan lemah.

Aku tidak tahu apa artinya semua ini, apa ini berarti Kak Dana sangat menyukai Melody. Aku tidak pernah berada di tempat para penderita Down Syndrom. Aku tidak pernah mengalaminya. Yang aku tahu, semua penderita Down Syndrom adalah orang-orang yang total. Mungkin caranya agak terlalu terburu-buru dan berlebihan, tapi ketika ada sesuatu yang mereka sukai, mereka tidak segan untuk menaruh hidup mereka pada hal itu.

".....dimana tempat handshake event itu?"

Aku bertanya dengan sisa-sisa antusiasme di hari itu.

"Aku akan antar. Di bilangan Sudirman."

***

Ramai sekali kondisi mall tempat diadakannya handshake event itu. Kalaupun Kak Dana masih hidup dan bisa kesini, aku juga tidak yakin dia bakal nyaman dengan antrian seperti ini.

Dengan menggunakan kursi roda yang didorong oleh sepupuku, aku ikut dalam antrian di line Melody. Beberapa orang dibelakang dan didepanku sempat berbincang-bincang denganku.

Kebanyakan dari mereka terlihat iba denganku yang dengan tubuh penuh luka dan kursi roda, masih mau datang ke handshake event. Sepupuku juga sedikit menjelaskan tentang penyebab kondisiku dan alasan kenapa aku tetap datang.

Beberapa fans wanita terlihat meneteskan air mata mendengar cerita sepupuku itu. Semakin banyaklah mata yang menatapku iba. Aku sendiri tidak terlalu memperhatikannya. Fokusku adalah memberikan boneka ini pada Melody secepat mungkin, lalu kembali ke rumah sakit.

Setelah hampir seluruh orang di antrian line Melody mengetahui ceritaku, mereka kemudian memberikan jalan untuk aku lebih dulu melakukan handshake. Dan seperti yang aku bilang, aku tidak terlalu peduli dengan event ini.

"Halo,  kamu kenapa, lagi sakit ya?" sapa Melody ramah ketika aku sudah berada di hadapannya.

Sebenarnya aku tidak suka dengan arah sapaan basa basi ini. Pikiranku terlalu kalut untuk membalas sapaan Melody itu.

"Ini, untuk kamu, Melody.." ucapku singkat seraya memberikan boneka Dumbo ke Melody.

"Boneka itu sobek, dan sudah diperbaiki oleh ibuku. Aku harap kamu bisa menyimpannya. Disitu ada harapan dan kebahagiaan Kak....."

Aku tidak bisa menyelesaikan kata-kata "Kak Dana" didepan Melody. Aku hanya menunduk dan menangis hingga akhirnya waktu sepuluh detik milikku sudah habis, dan sekuriti menyuruhku untuk segera minggir.

"Kenapa Mas Restu? Kenapa nggak dilanjutkan pesannya ke Melody?" tanya sepupuku sambil mendorong kursi roda yang aku naiki.

Aku tidak menjawab pertanyaan sepupuku itu. Tapi samar-samar aku bisa mendengar pertanyaan Melody tentangku yang dia tanyakan pada orang yang tadi antri dibelakangku. Mungkin orang itu yang menceritakan pada Melody, aku tidak tahu.

Yang aku tahu, ketika aku tiba di rumah sakit dan berada di tengah-tengah keluargaku yang masih dalam suasana berduka, salah seorang sepupu lainnya menunjukkan timeline twitternya yang penuh dengan ucapan duka dari semua member JKT48.

Terlebih lagi dari Melody. Yang berkata bahwa dia akan menyimpan sebaik-baiknya boneka Dumbo robek itu.

'Jangan menyerah jika kehilangan seseorang. Teruslah hidup supaya kamu tetap bisa mengenangnya.'

Aku tersenyum membaca twit Melody itu. Memang tidak dimention langsung, tapi aku tahu twit itu ditujukan untukku dan terutama untuk Kak Dana.

Dan ketika sekarang, kondisiku melemah, dan harus mengakhiri tulisan ini. Aku berjanji akan terus berusaha hidup, seperti yang dikatakan Melody. Setidaknya untuk menjaga agar kenangan tentang Kak Dana tidak hilang begitu saja.

~End~

Author by : @PradanaAnandya

Kamis, 12 November 2015

4 Arc For Sinka (fanfict inspired by @SinkaJ_JKT48)



Arc 1.

"Sepertinya, aku memang harus menghampirinya.." gumam gadis itu. Langkahnya ragu-ragu antara maju atau hanya diam di tempat sambil menendang-nendang kecil bola khayalannya.

Lebih dari 20menit gadis itu berkutat dalam keraguan. Ingin sekali dia menghampiri seorang pria yang sedari 20menit yg lalu ia perhatikan. Tapi, gadis itu terlalu malu dan ragu.

Gadis itu terkenal sekali sebagai gadis paling pemalu dan pendiam diantara kumpulannya. Sosoknya yg cantik dan semampai, belum bisa membantunya untuk lebih percaya diri. Seperti saat ini. Ketika gadis itu memilih untuk sengaja terpisah dari teman-temannya di sebuah mall.

Duh, mas tengok sini dong.. Biar aku gak usah datang kesana..

Batin gadis itu terus berharap pria yg dipandanginya sedari tadi itu untuk menengok kearahnya.

Gak mungkinlah, aku yg harus memberanikan diri untuk kesana. Sudah gak ada waktu lagi.. Oke, simple kok, dekati dia, dan cuma butuh satu atau dua kata saja kan.. Ayo, bisa bisa..

Entah sudah yg keberapakalinya gadis itu mencoba untuk meyakinkan dirinya sendiri. Dan di kesempatan itu, gadis itu akhirnya memberanikan diri. Menekan rasa malunya. Ada sesuatu yg lebih penting untuk diutarakan daripada menuruti rasa malu dan takutnya.

Sudah gak ada waktu lagi..

Langkahnya kecil-kecil, kadang bergetar, kentara sekali bahwa gadis itu malu dan takut. Namun, ia sudah tidak bisa menuruti itu. Setidaknya untuk saat ini. Gadis itu harus berbicara empat mata dengan pria yg sedang ditujunya saat ini.
Kepalan tangannya tergenggam erat. Di kepalanya tercetak berpuluh skrip dialog yg bisa dia ucapkan saat berbicara empat mata dengan pria itu. Amunisi sudah cukup. Tinggal keberanian maju ke medan perang.

Hanya sepuluhan meter jarak antara gadis itu dan pria yg masih belum menyadari keberadaan si gadis. Gadis itu berhenti melangkah. Skrip di otaknya buyar. Keberanian yg tadi dikumpulkannya selama melangkah, tiba-tiba lenyap. Gadis itu malu sekali. Dia tidak sanggup untuk mengutarakannya sekarang.

Di momen itu, tepat ketika gadis itu akan melangkah menjauh dari sang pria, pria itu menengok.

Waktu serasa berhenti bagi sang gadis. Badannya, terutama sekujur tulang belakangnya seperti diguyur air es. Merinding. Matanya bertemu dengan mata sang pria. Pria yg sudah ia perhatikan selama lebih dari 20menit.

Tulang belakang yg seperti diguyur air es tadi semakin ngilu dan merinding, ketika sang pria, dengan suara berat berwibawa, berkata "Ada yg bisa saya bantu, dek?"

"A..anu..aa..toilet a..ada dimana yaa pak?"

"Oh, lurus saja ke lorong timur itu, nanti belok kanan."

"Pak satpam!" seorang ibu dengan terburu memanggil pria yg tadi berbicara dengan gadis itu. Dan segeralah satpam itu meladeni sang ibu yg sepertinya kehilangan anaknya.

Dan seketika itu pula seluruh dingin yg menempel di tulang belakang gadis itu lumer dan menghangat. Gadis itu dengan cepat menuju ke lorong timur, lalu kemudian belok kanan. Berlari, dengan senyum lega mirip seorang prajurit pulang perang membawa kemenangan.

Gadis itu, Sinka. Sinka Juliani. Umur 18 tahun. Pemalu akut...


Arc 2.

"Hey maniss.."

Sinka terkesan tidak suka dengan nada yg dipakai dalam panggilan barusan. Dan karuan saja, berasal dari salah seorang dari kelima pria yg sedang berjalan dibelakang Sinka. Kelima pria yg paling tidak disukai oleh Sinka di kampusnya.
 Bully, belagu, preman, dan semua status sosial yg jelek, Sinka patri erat-erat di profil kelima pria tersebut.

Sinka masih saja berusaha cuek sembari mempercepat langkah kikuknya. Ini bukan kali pertama Sinka digoda oleh kelima pria tersebut.

Namun bagaimanapun Sinka berusaha mempercepat langkahnya, bahkan setengah berlari, kelima pria itu selalu dua kali lebih cepat langkahnya ketimbang Sinka. Sadar percuma berusaha kabur, Sinka lebih memilih untuk mencari tempat ramai, kalau-kalau terdesak, ia bisa teriak.

"Manis, jangan kabur mulu dong," ujar salah satu dari kelima pria.

"Cantik banget sih hari ini," tambah yg pria satu lagi.

Rencana memang mengatakan bahwa Sinka harus menuju ke kantin, tempat ramai terdekat. Tapi entah kenapa, kaki kikuk dan langkah takutnya malah menuntunnya menuju tepi barat tempat parkir. Memang tempat itu salah satu jalan pintas menuju kantin, tapi Sinka salah ambil keputusan. Justru di tempat sepi seperti itu, kelima pria yg mengikutinya tadi seakan mendapatkan kesempatan untuk mencegatnya.

"Permisi ya! A..aku mau le..lewat!" hardik Sinka terbata-bata.

"Iya, silakan lewat.. Mau ke kantin? Makan ya?" jawab satu orang pria.

"Traktir kita dong. Atau duitnya aja deh sekarang," perintah pria lainnya.

Sinka tidak menjawab. Ia hanya bisa tertunduk takut. Takut menuruti dan takut pula melawan. Dan ketakutan Sinka menjadi lampu hijau bagi kelima pria itu untuk lebih mem-bully Sinka. Tidak hanya sekedar verbal dan pressure, mereka juga mulai melakukan kontak fisik. Barusan, sudah kedua kali nya pipi Sinka disentuh oleh salah seorang pria itu, yg sepertinya adalah pimpinannya.

"Eh! Jangan ya! Aku teriak nih!" kesabaran Sinka mulai habis.

"Silakan teriak saja manis. Makin manis tau kalau kamu teriak." Kelima pria itu mulai kurang ajar. Sentuhan di pipi Sinka sudah tidak terhitung untuk yg ke berapa kalinya.

Sinka terlalu takut untuk membuka mata. Ia kini memilih untuk menutup matanya. Memegang erat ujung resleting jaketnya. Sementara kelima pria tadi tampak kegirangan dan semakin kurang ajar.

Hingga sampai ketika salah seorang pria itu memegang saku belakang celana Sinka untuk mengambil dompetnya, waktu kemudian berjalan seakan dipercepat 8 kali.

"Kamu pesan apa Sin?" tanya Jennifer, salah seorang sahabat Sinka, membuyarkan konsentrasi Sinka yg sedang membersihkan tangannya dari noda merah.

"Bakso aja deh, Jen. Pangsitnya yg banyak ya!" jawab Sinka antusias.

Kelima pria tadi?

Situasi terakhir, dua orang kabur entah kemana. Satu masih lemas di atas sepeda motornya, rencana ingin pulang kerumahnya. Dua lainnya sedang berada di kamar mandi, saling mengobati luka masing-masing dengan obat merah dan plester luka.

Sinka, 18 tahun, pemalu akut. Jago karate..


Arc 3.

"Mah! Dimana sih handuk Sinka???" omelan Sinka membuka pagi di rumah nya hari itu.

Si mama tidak menjawab, mungkin masih tidur. Sementara Sinka sedari tadi sibuk mencari handuk di tiap lemari pakaian yg ada di rumahnya.

"Gawat nih udah jam 6 nih. Telat nih ngampus.. Kok ga ada yg bangunin sih tadi, ah si mama sm cici.." gerutuan Sinka tidak berhenti.

"Ah pake handuknya cici ajalah!" ucap Sinka lalu bergegas masuk kamar cici nya, Naomi, yg dinginnya sedingin lemari es.

Naomi memang suka sekali setel AC ke suhu yg sangat dingin, terutama ketika ia ingin benar-benar istirahat, men-shutdown tubuhnya dari penat.

"Haduhhhh, ini kamar apa lemari es!" omel Sinka begitu membuka pintu kamar Naomi. Tidak ada jawaban dari Naomi, ia masih tertidur pulas dibalik selimut tebal yg menyelimuti hampir seluruh tubuhnya. Hanya terlihat rambut panjang Naomi diujung selimut.

Tidak banyak basa basi, Sinka lalu mengambil handuk yg masih terlipat rapi di lemari Naomi.

"Pinjam ya ci.." bisik Sinka pelan, seakan tidak berharap akan dijawab oleh Naomi, lalu sesegera mungkin keluar dari 'lemari es' seukuran kamar itu.

"Haduhh, plis plis jangan telat. Ada kuis nih ntar jam7. Mana ntar pasti jalanan macet..." keluh Sinka sepanjang larinya menuju kamar mandi.

"AAHHH!"

Sesaat setelah masuk kamar mandi, tiba-tiba saja Sinka berteriak. Bukan karena ada kecoa, laba-laba, atau sebangsanya, tapi lebih karena emosi Sinka meledak ketika melihat botol sabun mandi kosong melompong.

Memang kemarin sabun itu tinggal sedikit. Dan pasti sudah habis dipakai Naomi untuk mandi tadi malam.

"Ya Tuhannnn.. Mana nih refill nya?!?!" ujar Sinka panik. Kembali, untuk kedua kalinya, Sinka bongkar-bongkar hampir seluruh lemari dirumahnya. Padahal refill sabun cair yg ia cari berada di rak dalam kamar mandi.

Setelah beberapa saat panik, Sinka segera sadar. Bergegas ia kembali ke kamar mandi, mengambil refill, mengisi, kemudian mandi. Secepat mungkin.

Jam sudah menunjukkan pukul 6 lebih 40 menit ketika Sinka keluar dari kamarnya. Menenteng tas kuliahnya, menggenggam erat kunci mobil, dengan rambut yg tidak sempat lagi di hair-do, Sinka setengah berlari menuju garasi.

"Mampus mampus, telat kuis ini pasti pasti."

Ketika Sinka melewati depan kamar Naomi, tampak pintu kamar itu sudah terbuka. Jendela didalam kamar pun sudah dibuka. Naomi sudah duduk santai didepan tv. Masih terbungkus selimut tebal yg dibawanya dari kamar. Selimut kesayangan Naomi.

"Duh ini cici, ga dibangunin. Kan Sinka telat jadinya!" keluh Sinka pada Naomi sambil terus berjalan cepat menuju garasi.

"Hm? Ini kan hari minggu dek. Mau kemana?"

Tas kuliah yg ditenteng Sinka terjatuh ke lantai...

 Sinka Juliani, 18 tahun. Pemalu akut. Jago karate. Ceroboh dan panikan.


Arc 4.

Hari ini lo bagus banget, dut. Top performer dah!

Sinka tersenyum puas membaca twit barusan. Seakan usaha kerasnya di perform hari ini terbayar.

Ini ada review tentang perform lo hari ini. Ada kritiknya juga sih, tapi sedikit kok, soalnya hari ini lo bagus. *link*

Twit lain masuk dan Sinka buru-buru membuka link ke google plus milik salah satu fans. Membaca review dari fans adalah salah satu kegiatan favorit Sinka. Dari sana banyak sekali ia belajar memperbaiki kesalahan dan meningkatkan yg baik-baik.

Perlu sekitar 10menit untuk Sinka selesai membaca review itu. Memang reviewnya cukup panjang.

Hey dudut! Trims ya performnya hari ini. Keren banget. Tapi masih malu-malu ya MC nya. Tapi gapapa :)

Sinka tersipu. Kayaknya memang kalau masalah malu dan grogi, Sinka tidak bisa dengan mudah mengatasinya.
Sinka lanjut ke twit berikutnya.

Lalu berikutnya lagi.

Rata-rata dari hampir seratusan mention yg masuk, semuanya memuji penampilannya hari ini.

Ada beberapa yg tidak berguna, seperti hashtag #JokoPacarSINKAJKT48. Kalau untuk hal tidak berguna seperti itu, Sinka biasanya tidak menghiraukan. Opsi mute dan block di aplikasi itu menjadi senjata andalan Sinka.
Twit lainnya.

Sinka, ky nya aku jadi oshihen ke km nich. Km keren banget.

Ada lagi.

Sinka, gift jam tangan itu dari aku lhoo. Keren ga??

"Oh.. Jam tangan ini ya.." gumam Sinka riang sambil membuka wadah jam tangan yg tertulis namanya.

"Wih... Ini mahal ya kayaknya.. Ga harus begini sih, tapi terimakasih ya supportnya.." ucap Sinka pelan pada pemilik akun yg mengirimkan jam tangan itu. Yg tentu saja tidak akan sampai pesannya ke si pemilik akun. Karena memang Sinka -dan semua member- tidak dibolehkan menjawab mention.

"Sudah dek?" Naomi menepuk pundak Sinka dari belakang.

"Ayo ci. Lihat ci, ada yg ngegift ini.."

Sinka menunjukkan jam tangan itu pada Naomi. Hanya berbalas senyum, kedua kakak beradik itu memutuskan untuk pulang dan mengakhiri kegiatan panjang hari itu.

Sinka Juliani. 18 tahun. Pemalu akut yg jago karate namun kikuk dan panikan. Idola yg dicintai oleh fans-fans nya.


-end-